MATAHARI bagaikan Sang Hyang Bathara Surya yang tengah bertakhta di puncak singgasananya. Menaburkan cahaya ke belahan planit bumi. Cahaya yang terkadang menyilaukan mata, hingga manusia tak dapat menangkap hakikat kehidupan dengan jaring nuraninya. Dari sinilah, ajaran sang guru diperlukan. Agar manusia selalu eling dan waspada manakala tengah dilanda kemilau cahaya yang bisa membutakan mata memandang.
Di pendapa padepokan, Jayengresmi baru saja mengajar menulis dan membaca pada anak-anak. Seusai pelajaran, suasana di pendapa padepokan lengang. Namun tak seberapa lama, kelengangan itu dipecahkan dengan ketukan Centhini pada pintu pendapa yang masih terbuka. “Kula nuwun. Permisi.”
Di ruangan makan, Niken Turida yang tengah bersantap siang dengan Jayengresmi itu beranjak dari kursi kayu. Melangkah menuju suara yang bersumber dari pintu pendapa. Menyapukan pandangannya pada wajah Centhini dan Kinanthi dengan teduh. “Bukankah kamu Centhini?”
“Benar, Den Ayu. Hamba, Centhini.”
Niken Turida menatap lembut pada wajah Kinanthi. “Bukankah gadis belia berwajah cantik di sampingmu itu, Kinanthi?”
“Benar, Den Ayu.”
“Anakmu benar-benar cantik, Centhini.”
“Masak, Den Ayu. Ia hanya anak seorang babu. Celak sela, tebih saking raja gung binathara.”
“Sungguh! Wajah Kinanthi bagaikan purnama. Matanya bagai sepasang bintang kembar. Bibirnya serupa mawar merekah.”
“Pujian Den Ayu pada anak hamba sangat berlebihan. Hamba takut, bila kepala Kinanthi nanti akan membesar. Dekat dengan kesombongan. Jauh dari kerendah-hatian.”
“Maaf, Centhini!” Niken Turida sejenak terdiam. “Oh ya, Centhini. Masuklah dulu ke pendapa!”
Beserta Kinanthi, Centhini memasuki pendapa padepokan Wanatawang dengan langkah penuh sopan-santun. Seusai duduk bersimpuh di lantai pendapa yang berhamparkan tikar mendong, Centhini tersentak. Manakaka kedua matanya menyaksikan lukisan yang melekat di tembok samping kanan pintu penghubung pendapa dengan ndalem jero itu. Lukisan keluarga Ki Bayi Panurta. Mereka duduk di kursi pendapa dengan wajah berseri dan pandangan mata secerlang bintang panjer esuk.
“Centhini….”
“Ya, Den Ayu.”
“Kalau boleh tahu, apa maksud kedatanganmu bersama Kinanthi di padepokan?”
“Tak ada maksud hamba, selain ingin menghadap Denmas Jayengresmi.”
“Oh…. Begitu.” Niken Turida mengangguk-anggukkan kepala. “Baiklah. Tungga sebenar!”
Suasana pendapa padepokan Wanatawang senyap. Tak lama kemudian, suasana itu pecah saat Jayengresmi yang usai menyantap makan siang itu muncul di pendapa. Duduk di depan Centhini dan Kinanthi dengan wajah menyiratkan kewibawaan seorang guru.
“Sembah bakti pada Denmas Jayengresmi.”
“Centhini.”
“Ya, Denmas.”