HARI demi hari terus melintas. Hingga tak terasakan oleh Kinanthi, bila usianya telah menginjak duapuluh tahun. Sekalipun usianya telah matang untuk memasuki kehidupan rumah tangga, namun tak pernah terlintas satu nama lelaki pun di dalam benaknya. Waktu kehidupannya hanya dihabiskan untuk bekerja, menulis, dan membaca. Hingga dalam satu bulan, Kinanthi yang diangkat sebagai anak keluarga Jayengresmi itu telah tuntas membaca kitab dari Syekh Amongraga yang diberikan pada mendiang emaknya, Centhini.
Usai makan malam, Kinanthi kembali membuka-buka kitab yang ditulis Syekh Amongraga itu di ruangan belajar. Membaca ulang sekilas kisah emaknya yang tertulis di dalam kitab itu. Semenjak ia mengabdi sebagai babu di padepokan Wanamarta hingga perjalanannya sampai di desa Jurang Jangkung. Dalam ngungun, ia teringat pada emaknya.
Kinanthi tersentak, saat pintu kamarnya diketuk Niken Turida. Tanpa berpikir panjang, Kinanthi beranjak dari kursi. Membuka pintu itu tanpa deritan. “Oh…, Ibu Turida. Apakah ada pekerjaan yang harus aku laksanakan?”
“Tak ada, Kinanthi.” Niken Turida menjawab dengan lembut. “Malam ini, ayahmu ingin berbicara denganmu. Beliau telah menunggumu di pendapa.”
“Baiklah, Ibu. Aku akan segera ke pendapa.”
Selepas Niken Turida, Kinanthi meletakkan kitab yang ditulis Syekh Amongraga itu di atas mejanya. Melangkahkan kakinya menuju ruang pendapa. Di mana Jayengresmi telah duduk sambil mengunyah sirih di salah satu kursi. “Maaf, Ayah. Apakah Ayah memanggilku?”
“Benar, Kinanthi. Duduklah!”
Dengan sikap santun, Kinanthi duduk pada salah satu kursi yang berseberangan meja dengan Jayengresmi. Duduk dengan wajah setengah tertunduk. Kedua tangannya diletakkan rapi di atas meja. Terdiam tenang untuk menerima apa yang akan disampaikan Jayengresmi. Guru dan sekaligus ayah angkatnya.
“Kinanthi.”
“Ya, Ayah.”
“Ilmu yang aku miliki kiranya telah kamu cerap dengan baik. Tidak hanya ilmu menulis dan membaca lontar, namun pula ilmu tentang kesejatian hidup. Karenanya, sempurnakan ilmu itu dengan bertapa di sendang Klampeyan. Sendang keramat yang pernah dijadikan tempat bertapa guru Syekh Amongraga.”
“Bertapa di sendang Klampeyan?”