CENTHINI GUGAT [Kupu Putih Desa Jurang Jangkung]

Sri Wintala Achmad
Chapter #1

SEBENDEL LONTAR DI DALAM ALMARI KAYU

MATAHARI menyembul dari balik bukit timur. Kabut yang menggenangi desa Jurang Jangkung perlahan-lahan tersingkap. Burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan pohon. Kupu-kupu dan capung-capung berterbangan tanpa menggendong beban di punggungnya. Semilir angin yang menggetarkan daun-daun dan rumputan memberikan kesejukan.

Langit safir yang tak tergores awan memayungi desa Jurang Jangkung. Desa yang menghampar di lembah dilingkungi perbukitan. Desa subur yang ditumbuhi aneka pepohonan: kelapa, mahoni, jati, rambutan, jambu biji, jambu air, kelengkeng, dan lainnya. Desa makmur dengan hamparan ladang jagung, tomat, cabai, bayam, bayung, sawi, kobis, kacang panjang, dan lainnya. Desa yang diyakini banyak orang sebagai irisan surga.

Sebagaimana orang-orang yang meladang dengan tubuh dan wajah bermandi keringat, Centhini masih tegar mengayunkan cangkulnya ke tanah garapan. Agar tanaman jagungnya yang baru berumur setengah bulan itu dapat tumbuh dengan baik. Memberi hasil jagung-jagung segar yang besar. Terbebas dari serangan hama dan ulat.

Di bawah matahari yang semakin terik, Centhini mengatur napasnya yang mulai ngos-ngosan. Menyeka leleran keringat di wajah dan leher dengan tapak tangannya yang kasar. Dengan memanggul cangkul, ia menuju gubug tepi pematang. Duduk di amben gubug itu. Menenggak air yang keluar dari lubang moncong kendi. Rasa segar menjalar ke sekujur tubuhnya.

Centhini mendesah. Teringat pada keputusannya yang bodoh. Menerima perintah Syekh Amongraga untuk menikah dengan Monthel. Lelaki bertubuh tambun yang menceraikannya sesudah tergoda dengan janda kembang. Meninggalkannya tanpa mengingat nasib Kinanthi. Anak gadis semata wayang yang akan merasa damai tinggal di antara ayah dan ibunya.

Ambang matahari di titik terpuncak kubah langit, Centhini beranjak dari amben gubug. Dengan perut yang keroncongan, ia meniti pematang ladang. Pulang. Meletakkan cangkul dan kendi di dapur. Membasuh wajah, tangan, dan kaki di sumur belakang rumah. Memasuki ruang depan. Menyantap secowek nasi jagung, sayur lodeh, dan lauk tempe garit goreng. Melepas lelah sambil menikmati secangkir secang gula aren yang dipersiapkan Kinanthi di atas meja kayu.

“Masakanmu sangat lezat, Kinanthi!” Centhini mengipas-ngipaskan salah satu selendang lurik pemberian Tambangraras ke lehernya yang basah keringat. “Secang gula aren buatanmu membuatku kemepyar. Bakat masak mendiang nenekmu telah kamu warisi, Ndhuk.”

“Apakah Nenek juga pintar masak, Mak?”

“Kalau tak pintar, nenekmu tak bakalan dipercaya sebagai tukang masak keluarga Ki Bayi Panurta.”

“Begitu ya, Mak?” Sejenak Kinanthi terdiam. “Oh ya, Mak. Ki Bayi Panurta itu siapa?”

“Beliau orang terhormat di padepokan Wanamarta. Pada keluarga beliau, aku dan nenekmu bekerja sebagai babu. Orang-orang yang dikastakan di tingkat sudra. Semoga kamu tidak malu memiliki nenek dan simbok yang pernah bekerja sebagai babu. Tak bisa baca dan nulis. Bisanya hanya memeras keringat untuk memenuhi perintah juragan yang ngasih upah. Kamu harus belajar! Mumpung usiamu masih belia. Biar kelak, kamu tak menjalani hidup sebagai babu.”

Lihat selengkapnya