Tanganku terangkat menjulang ke atas, meregangkan otot-otot yang sudah kaku. Entah sudah berapa lama aku duduk dan menekuni naskah yang sedang kusunting. Bahkan rasanya sudah beberapa jam berlalu sejak Dea pulang dan meninggalkanku di lantai tiga ini.
Pandanganku lantas mengarah ke jam dinding dekat pintu kaca. Sudah jam tujuh lewat ternyata.
Menyadari hari sudah berganti malam, perutku mendadak keroncongan. Bunyinya bahkan memenuhi ruang kantor yang sunyi. Aku buru-buru mengambil ponsel, mengetikkan pesan ke seseorang yang bisa membawakanku makanan. Setelah menerima balasan, aku meletakkan ponselku di atas meja lalu berdiri.
Aku berjalan mendekati jendela kaca yang memperlihatkan jalan raya di bawah. Di luar sana kendaraan padat merayap. Pulang sekarang pastilah akan terkena macet. Masih mending kalau ada yang menyetirkan, kalau pulang sendiri bakal semakin pegal-pegal.
Seketika pikiranku mengarah ke naskah-naskah yang kukerjakan beberapa hari ini. Jika ini adalah novel, di saat-saat seperti ini bosku yang tampan akan datang. Bertanya kenapa aku belum pulang. Awalnya dia akan terlihat dingin dan tidak peduli, tapi tanpa sepengetahuanku, malah menungguiku meninggalkan kantor. Saat mau pulang, karena sudah terlalu larut, dia menawarkan diri untuk mengantarku. Aku menolak, tapi dia ngotot dan menarik paksa tanganku ke mobilnya.
"Kyaaaa!" Aku merasa malu sendiri. Sambil memekik heboh, aku memegang kedua pipiku yang memanas. Kakiku tentu saja mengentak berkali-kali. Kalau ada yang melihatku saat ini, pasti mereka berpikir aku sudah gila.
Lagipula ... "Bianca bego, mana ada cowok kayak gitu di dunia nyata!" Aku mengingatkan diri sendiri. Kuketuk kepalaku pelan untuk mengurangi frekuensi mengkhayal. Aku harusnya bisa mencontoh Dea.
Tak lama, setelah merasa lebih realistis dan tenang, aku melihat kaca di hadapanku kembali. Seketika aku tersadar sesuatu. Pantulan diriku di kaca itu menampilkan sosok yang berantakan. Poni pendekku sudah tidak beraturan bentuknya. Yang mestinya lurus jatuh ke bawah malah kocar-kacir. Mungkin karena terlalu sering menyugar tadi saat membaca naskah. Rambut dicepol asal ke atas. Pipi tembem karena makan teratur tidak, ngemil melulu iya. Kemeja kotak-kotak yang kukenakan juga sudah lecek sana sini. Ditambah lagi noda bekas tumpahan kopi yg menghiasi bagian bawah kemeja serta celana katun putihku. Benar-benar tidak sedap dipandang. Bahkan aku sendiri mengakuinya.
Kalau pun ada CEO tampan ala novel di sekitarku, atau mungkin bosku adalah laki-laki penuh pesona, bisa kubayangkan dia tidak akan tertarik sama sekali padaku. Bahkan mungkin melirik pun tidak. Laki-laki seperti itu pastinya hanya akan melirik cewek cantik dan seksi. Yang terlihat menawan dengan gaun merah membungkus tubuh ala gitar Spanyol-nya. Yang rambutnya panjang terurai dan berwarna keemasan. Yang ...
"Makanan datang!"
Aku tersadar dari lamunan dan melompat senang. "Mas Setyo!" teriakku heboh.
Bukan, dia bukan 'Mas-Mas'-ku. Bukan pacar yang berbaik hati membawakan makanan untuk sang kekasih. Dia office boy kantor yang selalu menjadi penyelamat hidup orang-orang yang lembur. Selalu siap sedia membelikan makan saat dibutuhkan. Lebih praktis dibandingkan menggunakan jasa antar makanan online.
Mas Setyo menghampiri kubikel milikku untuk meletakkan makanan yang kupesan. "Mbak Bianca lembur lagi?"
"Iya, Mas. Masih banyak kerjaan ini," balasku ketika sudah berdiri di sampingnya. Kemudian aku mengeluarkan makanan tersebut dari kantong plastik sembari bersenandung kecil.
"Kenapa enggak kerja di rumah aja, Mbak? Pekerjaannya kan enggak harus dikerjakan di kantor."
Aku tersenyum. Mengambil dompet di dalam tas lalu menyerahkan selembar uang berwarna hijau pada Mas Setyo. "Bisa sih, Mas. Cuma aku malas kalau di rumah. Bawaannya pengen rebahan terus. Kerjaan enggak bakal selesai," jelasku dengan senyum kecut.
Mas Setyo tertawa kecil. "Sabar ya, Mbak, bentar lagi dapat atasan baru, kok."
Sontak aku melongo. Radarnya Mas Setyo memang kencang. Bahkan gossip di lingkungan editor pun dia tahu. "Mas udah tahu juga siapa yang bakal gantiin si Medusa?" tanyaku semangat. Barangkali saja Mas Setyo tahu. Sepertinya info dia lebih update daripada aku atau pun Dea.
"Dengar-dengar keponakan Pak Weri, Mbak."
Pak Weri yang dimaksud adalah bos besar. Pemilik dari perusahaan penerbitan ini, WeriWara Publisher.
"Pak Weri ini kan enggak punya anak, Mbak," lanjut Mas Setyo lagi. Aku mengernyit heran. Apa hubungannya Chief Editor baru dengan Pak Weri yang tidak punya anak? "Katanya atasan baru Mbak ini ditunjuk buat latihan. Rencananya perusahaan penerbit ini mau diwariskan ke dia."
Mulutku menganga mendengar hal tersebut. Sudah kuduga Mas Setyo sehebat ini mengenai gossip. Aku saja yang bawahan langsung tidak tahu sampai sejauh itu. "Terus Mas Setyo tahu orangnya siapa? Cowok? Punya fotonya enggak? Masih muda? Ganteng?" tanyaku menggebu-gebu.
Mas Setyo tertawa melihat tingkahku. "Satu-satu, Mbak. Ngarep banget ya atasannya cowok? Pengen digoda?"
Aku memberengut. "Tahu sendiri kan, Mas, di sini itu gersang banget. Rata-rata pegawainya cewek. Kalau pun ada cowok, malah sudah menikah atau lebih muda. Aku kan maunya yang seumuran atau lebih tua. Kalau bisa lebih mapan dan tampan."
Lagi-lagi Mas Setyo tertawa. "Tenang aja, Mbak, penggantinya Mbak Ratna ini cowok kok. Tapi saya enggak tahu siapa namanya. Enggak punya fotonya juga, Mbak. Masih muda sih mungkin, karena kan keponakannya Pak Weri. Cuma enggak tahu juga udah menikah apa belum," jelas Mas Setyo panjang lebar.
Masih muda dan penampilan menarik tapi kalau sudah menikah sih percuma. Aku juga enggak bakal mau jadi pelakor.
Ah, pikiranku sepertinya terlalu jauh. Belum tentu juga calon bosku ini tertarik padaku. Bisa saja juga dia tidak suka perempuan, kan? Banyak sekali kemungkinan untuk bos baru yang misterius ini.