CEO Dalam Novel

Nunahsana
Chapter #6

Chapter 6

  "APAAAA?" pekikku kaget.

    Bukannya memberi penjelasan padaku, si CEO malah menoleh kembali pada Tammy. "Sore ini, berikan dia penjelasan apa saja pekerjaanmu."

    Aku memelotot. Tanganku yang awalnya melingkar di punggungnya dan memegangi lengannya merosot. Entah dia akan menganggapnya kurang ajar atau tidak, aku mendorong pundaknya untuk menghadapku. Kulihat dia sampai mengerang pelan sambil memegangi perutnya. Mungkin nyeri karena pergerakan mendadak saat aku mendorongnya. 

    "Kata siapa?" tanyaku kemudian dengan sebelah alis terangkat. Terkesan menantang mungkin. Namun, dia duluan yang cari masalah dengan langsung menentukan tanpa menanyakan kesediaanku.

    "Saya barusan," jawabnya lekas tanpa rasa bersalah.

    "Saya belum setuju," protesku sembari berkacak pinggang.

    Menanggapiku, dia tersenyum angkuh meskipun wajahnya lebam-lebam dan dihiasi luka lecet. Aku rasa keadaannya tidak separah luka yang terlihat. Apa dia tipe orang yang cepat melemah, tapi juga cepat pulih. Tadi kupikir dia sudah hampir mati.

    "Kamu mau menolak?"  

   Pertanyaannya membuatku menggigit bibir dengan sebal. Kuarahkan pendanganku ke langit-langit, menerawang. Sistemnya bagaimana, sih? Aku bisa menolak atau tidak? Bisa setuju atau tidak? Cuma kalau dipikir-pikir, tidak ada ruginya aku bersikap tidak sopan dan menolaknya. Toh, aku bukan berasal dari dunia ini. Aku pasti akan kembali ke dunia asliku. Iya, kan? Kan?

    Umpatan melesat dari bibirku tatkala menyadari aku pun tidak yakin dengan jawabannya. Sama dengan kemunculanku di dunia naskah ini yang masih buram, cara pulangku pun belum bisa terlihat hilalnya.

    "Kamu mengumpat ke saya?"

    Cengkraman tangan si CEO yang mendarat di bahuku serta nada suaranya yang naik satu oktaf membuatku tersentak. Aku buru-buru menggeleng sebelum dia salah paham. 

    "Saya mengumpat ke diri saya sendiri, kok."

    Dia memutar bola mata tidak percaya, tapi tetap melepaskan cengkramannya dari bahuku.

    Sementara aku—dan kelihatannya Tammy juga—masih di tahap memproses segala yang terjadi di sini, CEO itu meninggalkan kami berdua. Dia tertatih-tatih menuju meja kerjanya. Sesampainya di sana, dirapikannya isi meja itu yang berantakan karena kejadian tadi. "Jadi gimana? Kamu mau jadi sekertaris pribadi saya tidak?" tawarnya lagi dengan tatapan berfokus pada barang-barang di depannya. 

    Aku mendekatinya, berdiri tepat di depan meja. Aku melakukannya agar dia bisa melihat jawaban yang kuberikan. Ketika dia menengadah dari aktivitasnya menutup berkas-berkas di atas meja, aku menggeleng. Itu adalah jawabanku atas pertanyaannya, menolak. Aku sudah menetapkan hati. Dia seenaknya saja menunjukku tanpa menanyakan pendapat dulu. Bisa kutebak kalau dia jadi atasan langsungku, pasti akan semena-mena juga. Lagipula, ada hal yang lebih penting yang perlu kulakukan. Aku masih belum tahu kenapa aku ada di dunia ini dan sampai kapan ada di dunia ini. Yang paling penting, aku mau pulang! Bukannya jadi sekertaris!

    "Kamu yakin?" si CEO tersenyum miring. Tangannya yang mengangkat bolpoin berhenti di udara. Tiba-tiba saja, dia sedikit membungkuk, mendekatkan wajahnya pada wajahku.

    Tanpa melihat pun aku yakin tampangku sekarang ini sudah seperti kepiting rebus. Dengan jarak dekat, aku baru melihatnya dengan seksama. Aku baru sadar ada lesung pipi kecil yang muncul saat dia tersenyum seperti itu. Seketika denyut jantungku meningkat, melewati batas normal. Manisnya berlipat ganda! Oh, Tuhan, kenapa dia tetap sangat menawan walau penuh luka. Karakter novel sialan ini sudah memenuhi dua kriteria laki-laki yang kusuka. Meskipun muak dengan rentetan karakter CEO dalam naskah yang diberikan padaku, secara khusus aku menyukai penggambaran fisik karakter laki-laki di novel ini.

    "Um ... misi," panggilku mengabaikan pertanyaannya. Aku perlu memastikan sesuatu. "Bisa tampar atau cubit saya tidak?"

    "Hah?" si CEO keheranan.

    Aku meyakinkan dengan menarik tangannya. "Pukul atau cubit saya coba, Pak?" pintaku. Tangannya kudekat-dekatkan ke pipiku agar dia segera melakukannya.

    Rautnya ragu sesaat, tapi tanpa peringatan, mendadak dia menyentil dahiku dengan tangan lainnya.

    "AH!" Aku mengaduh kencang, merasakan nyeri di dahiku.

    "Kamu yang memintanya," ujarnya enteng.

    Benar, aku yang memintanya. Sekali lagi aku memastikan ini bukan mimpi. Manusia fiktif ini ada di hadapanku dalam bentuk nyata. Benar-benar ciptaan yang indah. Kira-kira dari mana penulisnya dapat inspirasi ...

Lihat selengkapnya