CEO Dalam Novel

Nunahsana
Chapter #7

Chapter 7

  Si CEO memasuki ruangan lain yang bersambungan dengan ruangannya. Kamar kecil berukuran 4 x 5 meter yang bernuansa hitam. Di dalam lengkap dengan tempat tidur queen, nakas beserta lampu tidur, lemari besar, dan pantry cabinet ala hotel.

    "Bapak tinggal di sini?" tanyaku sembari memandang berkeliling dengan takjub.

    Yang paling menarik perhatianku adalah di depan jendela besar yang mengisi satu sisi ruangan itu, ada window seat yang memanjang, mengikuti lebar dari kusen jendelanya. Sudah lama aku memimpikan tatanan seperti itu ada di rumahku. Sayangnya, aku belum punya rumah pribadi sekarang dan hanya ngekos.

    Dengan gerakan lambat aku mendekati jendela itu. Walaupun pemandangan di baliknya bukan halaman hijau seperti yang kuidam-idamkan sejak dulu, area itu tetap menyita hatiku. Di luar terpampang jalanan dan bangunan lain yang tampak kecil. Juga ada sungai yang membentang, membelah wilayah di bawah menjadi dua. Di naskah novel ini, penulisnya menciptakan kotanya sendiri. Hanya dikatakan bahwa setting-nya adalah di Indonesia, tapi kotanya adalah kota fiktif. Tidak ada di peta. Aku jadi penasaran, di kota ini, di mana aku tinggal.

     "Hanya di waktu-waktu tertentu. Kalau saya malas pulang karena lembur saja," jawaban si CEO membuatku menoleh. Dia sudah di depan lemari, sedang melonggarkan dasi. Lantas, dia membuka lemarinya dan mengambil satu kemeja dari dalam sana.

    Pikiranku melayang, sesuai pernyataannya, curiga aku juga akan sering lembur untuk menemaninya.

    "Bianca." Si CEO berpindah ke samping tempat tidur. Diletakkannya kemeja biru polos yang  tadi diambilnya. "Ambilkan saya kotak obat di laci itu," pintanya dengan telunjuk mengarah ke nakas di samping tempat tidur.

    Aku bergegas melaksanakan yang dimintanya. Tidak sulit menemukan kotak P3K tersebut. Laci bawahnya hanya berisi benda putih itu. Aku berjongkok, mearik pegangannya, lalu mengeluarkannya dari laci. Sesudah itu, aku berdiri, membalikkan badan, dan kemudian ...

    "HUWAAAAA!" Aku menjatuhkan kotak itu ke lantai.

    Pemandangan di hadapanku membikin aku refleks menutup kedua mata dengan tangan. Laki-laki yang bersamaku di ruangan ini membuka kancing kemejanya hingga paling bawah.

    "Tidak perlu teriak. Saya belum telanjang, kok."

    Jemariku membuka, memberikan celah untukku mengintip. Aku mengerjap mendengar kata-kata si CEO itu. Tidak telanjang kepalamu! Jelas-jelas dia sudah bertelanjang dada. Baju yang tadi dia kenakan sudah ditanggalkannya. Dia membuangnya asal ke atas tempat tidur.

    "Kalau saya buka celana baru kamu teriak dan tutup mata kayak gitu. Baru baju aja yang kebuka reaksi kamu sudah seperti itu. Kamu pasti pera—"

    "Tidak!" Aku menurunkan tangan lalu balas memandanginya garang. Perkataannya tidak salah sih, aku memang masih perawan, dan aku tidak masalah dengan hal itu. Aku bukannya orang yang ingin melakukan hubungan badan di luar pernikahan. Hanya saja, aku tidak suka tatapan mengejeknya, seakan-akan aku adalah lelucon dan bisa dianggap remeh.

    "Saya memang mikir Bapak mau buka celana juga. Makanya saya nutup mata," kilahku.

    "Hm ... ya, ya, terserah kamu saja." Si CEO mengibaskan tangannya tidak peduli. Namun, senyum mengejek masih tersisa di wajahnya. Aku sampai mendengkus sebal.

    Sejurus kemudian, dia duduk di tepian ranjang. "Bawa kotak obatnya ke sini."

    Aku menurut dan memungut kotak P3K yang terjatuh tadi. Setelah tiba di sampingnya, aku mengulurkan benda yang dimintanya itu.

    "Bantu saya obati luka-luka ini," perintahnya lagi.

    Tanpa banyak protes, aku mengambil tempat di sampingnya. Dia memperbaiki posisi duduknya untuk menghadapku. Pandangannya ikut turun, ke jarak kecil di antara kami, di mana kotak tadi sedang kubuka. Dengan cekatan aku mengambil kapas lalu menuang larutan saline. Begitu kapas basah, dia memajukan sedikit wajahnya agar aku bisa memulai.

    Sesaat aku mengamati seluruh wajahnya, menilai luka mana dulu yang harus kubersihkan. Pilihan pertaku jatuh pada luka lecet yang cukup besar di area bibirnya. Begitu kapas basah tadi mengenai luka, dia mengaduh. Otot-otot wajahnya tertarik menahan sakit.

    "Lukanya banyak juga, Pak," komentarku sambil mengurangi intensitas tekanan dalam membersihkan lukanya. Dia hanya menggumam pelan, selepas itu sesekali meringis.

    Hening kembali tercipta. Aku berfokus membersihkan luka-luka lecet lain dan dia sibuk memainkan lampu senter dari dalam kotak P3K. Tampaknya dia melakukan itu untuk mengalihkan perhatiannya dari rasa sakit. Setelah selesai membersihkan semua luka di wajahnya, aku mengambil botol povidon iodin serta cotton bud. Kububuhkan beberapa tetes cairan tersebut ke cotton bud, lalu mengoleskannya ke luka-luka yang sudah kubersihkan tadi.

    Bosan dengan keheningan tersebut, aku mulai berbasa-basi. "Pas mau nolongin Bapak tadi, saya pikir Bapak sudah sekarat."

Lihat selengkapnya