CEO Dalam Novel

Nunahsana
Chapter #8

Chapter 8

    "Bhadrika Danadyaksa Ararya Daniswara."

    Aku mengulang-ulang nama itu dalam hati agar cepat ingat. Nama dia terlalu panjang dan sulit. Bikin lidah membelit. Kenapa sih nama CEO dalam novel itu rata-rata susah? Kenapa mereka tidak memakai nama gampang dan pasaran saja seperti Hasan, Ilham, Reza, Ahmad, dan sebagainya? Apa pas ujian dia tidak kesusahan membulatkan namanya yang panjang itu? Kira-kira pas absen panggil, gurunya bisa mengucapkan dengan benar tidak ya?

    "Kamu tidak perlu antar saya sampai depan lift."

    Aku tersentak. Kepalaku yang sejak tadi menunduk lantas menengadah. Karena terlalu serius dengan nama tadi aku tidak sadar sudah memasuki koridor tempat lift berada. Padahal niatnya, keluar dari ruangan Bhadrika, aku akan singgah di ruangan Tammy. Bhadrika tadi mengatakan hanya akan ditemani supir untuk schedule-nya hari ini. Sedangkan aku, sebagai sekertaris barunya, diminta tinggal untuk belajar kilat di Tammy. Supaya besok aku sudah bisa selaras dengan tempo dia katanya.

    "Baru bilang sekarang, Pak? Ini sudah dekat ..." Awalnya aku ingin sedikit bercanda, tapi melihat tatapan tajamnya saat mendengar perkataanku, aku buru-buru tersenyum lebar kelihatan gigi dengan canggung. Lalu aku berderap ke arah tombol lift. Setelah menekannya, aku berdiri tegap dengan kedua tangan mengait di depan perut. "Karena tidak bisa ikut dengan Bapak hari ini, biar saya antar Bapak sampai depan lift. Ini sudah tugas saya." Punggungku menekuk ke depan, memberikan hormat.

    Dia yang sudah tiba di hadapanku lantas melirik ganjil. "Belum juga hari pertama, tapi sejak tadi kamu sudah melakukan kesalahan. Kamu tahu apa?"

    Perlahan tubuhku kembali menegak. Aku hanya mengerjapkan mata dengan memasang ekspresi sepolos mungkin sebagai tanda ketidaktahuanku. Apa dia masih marah karena masalah otot itu? Atau karena aku tidak tahu namanya?

    "Kamu daritadi panggil saya 'Pak' atau 'Bapak'. Saya tidak suka dipanggil seperti itu," ungkapnya kepala dimiringkan. Alisnya bertaut dan mata kecilnya semakin menyipit.

    Rasanya aku ingin menghela napas panjang saat itu juga. Namun, sebisa mungkin kutahan. Kenapa sih, kelakuan orang kaya suka aneh-aneh! Di mana salahnya memanggil atasan dengan 'Pak' atau 'Bapak'. Lalu memangnya dia mau dipanggil apa? Kenapa tidak sekalian saja bilang: 'Saya tidak suka dipanggil 'Pak', Bianca. Panggil saja saya dengan panggilan ini ...' Biar lebih jelas. Kalau begini, apa aku harus menebak-nebak?

    "Kalau begitu saya panggil 'Sir'?" tebakku. Dia mendengkus tidak senang. Tebakanku salah, silakan coba kembali.

    "Tuan?" Dia menggeleng dengan raut letih.

    "Mas? Kak?" Kali ini matanya membulat kaget. Lagi-lagi salah.

    Aku jadi teringat perkataan Mellisa saat kebingungan tadi: 'Di sini, kita sudah sepakat untuk memanggil nama, apa pun jabatannya.'

    Senyum kemenanganku terbit. Kali ini aku hampir seratus persen yakin tebakanku benar. Telunjukku ikut terangkat mengarah ke atas karena terlalu bersemangat. "Bhadrika?"

    Mulutnya terbuka sedikit. Tampaknya agak terkejut. Aku beranggapan jawabanku ini sudah benar, tapi belum cukup tepat. "Bhad? Drika?" tebakku lagi. Semakin bersemangat, tubuhku terdorong maju.

    Dia yang hampir dua puluh sentimeter lebih tinggi dariku menunduk, membuat jarak kami terkikis. "Kamu mencoba tidak sopan ya, manggil saya dengan nama saja?" Suaranya dalam dan tegas.

    Deg!

    Mati aku, jauh lebih salah lagi ternyata! Bola mataku bergerak ke kiri dan kanan, menghindari tatapannya yang lurus menghunus seperti terpancar laser. "Saya, kan, enggak tahu, Pak. Eh ..." Aku mengernyit tatkala kelepasan kembali memanggilnya 'Pak'.

    "Kamu sudah berapa lama kerja di sini? Kenapa bisa tidak tahu saya dipanggil apa kalau di kantor?"

    Sebenarnya mau kujawab baru saja tadi. Cuma, kalau kuceritakan aku berasal dari dunia berbeda dan tiba-tiba saja masuk ke dunia ini beberapa saat yang lalu, dia pasti menganggapku gila. "Saya emang suka gitu ..."

    Perkataanku yang menggantung ditangkap dengan baik oleh Bhadrika. Untung saja. Dia langsung menyambungnya. "Bos. Panggil saya 'Bos'," ucapnya.

Lihat selengkapnya