Sudah genap seminggu aku bekerja sebagai sekertaris pribadi Bhadrika. Satu hal yang menyenangkan, aku dapat bejibun baju baru dengan merek mahal dan berkelas. Di hari ke dua aku datang kerja, aku tetap menggunakan pakaian milikku karena hanya membeli satu pasang. Jadi, Bhadrika menyuruhku kembali ke butik dan membeli pakaian kerja sebanyak yang kubutuhkan. Kini ada satu lemari di rumahku yang isinya pakaian kerja sesuai selera dia. Kemeja satin polos berbagai warna, blazer dan rok pensil atau rok span maksimal di atas lutut dengan warna senada, stiletto, dan tas tangan penuh gaya. Seperti yang kugunakan hari ini, kemeja satin berwarna putih tulang, blazer wol berwarna merah coral, rok plisket 5 sentimeter di atas lutut dengan warna yang sama, dan stiletto berwarna putih dengan ornamen pita di belakangnya. Baru jadi sekertaris saja sudah diperlakukan ala sugar baby. Bagaimana kalau jadi pacar atau selingkuhannya?
Namun, hanya itu saja yang menyenangkan. Sisanya, ternyata dia bos yang super menyebalkan dan banyak maunya! Bukannya aku tidak tahu. Di naskah, dia juga kadang menyebalkan ke Sandra. Cuma kupikir karena tokoh utama wanita berubah, kelakuannya juga akan berubah. Waktu pertama kali bertemu, dia tidak semenjengkelkan itu. Seiring berjalannya waktu, setannya malah makin keluar.
Kring ... kring ...
Talk about the devil! Line teleponku yang hanya terhubung dengan ruangannya kembali berdering. Entah untuk keberapa kalinya hari ini. Segera kuangkat sebelum dia protes kenapa panggilannya dijawab di dering ke-sekian.
"Halo, Bos? Ada yang bisa saya bantu?" sapaku ramah. Padahal dalam hati gondok. Belum sampai lima belas menit aku kembali dari ruangannya.
"Buatkan saya kopi," perintah suara di seberang sana.
"Kopi hitam, kopi putih, kopi susu, atau pakai krimer, Bos?"
"Kamu tidak tahu preferensi kopi saya?" Dia nyaris memekik. Aku bisa membayangkan alisnya yang bertaut dan terangkat sebelah.
Ini rasanya kujawab: Mana kutahu! Ini baru pertama kalinya kamu minta kopi wahai bosku yang selalu pengen langsung dibaca pikirannya!
"Saya enggak tahu kalau Bos enggak bilang," jawabku akhirnya tidak acuh. Persetan kalau dia ngomel lagi. Aku sudah tahan banting.
"Bukannya Tammy sudah memberikanmu fail daftar pekerjaan dan fail operan hal-hal yang harus diperhatikan ya?"
Tuh, kan! Nada bicaranya meninggi. Tandanya, rentetan kata-kata yang layaknya kereta api cepat tidak akan berhenti meluncur dari mulutnya.
"Memangnya di sana tidak ada tertulis saya sukanya kopi yang seperti apa? Tidak ada tertulis saya minum kopi di saat-saat seperti apa? Ini tidak masuk akal, Bianca! Atau kamu saja yang tidak baca? Coba kamu periksa lagi fail itu! Pasti kamu tidak baca keseluruhan fail, kan? Saya tidak suka mengulang-ulang, Bianca! Seingat saya, saya sudah pernah menyuruh Tammy menambahkan—"
"Jadi Bos mau kopi apa?" potongku kurang ajar. Hanya saja, kalau tidak dihentikan, kupingku bisa panas mendengar omelannya yang susah berhenti.
"Kopi hitam! Panas!" bentaknya tidak nyantai.
Aku mengelus-elus dada untuk menyabarkan diri. "Gul—"
"Bawa ke ruangan saya. Segera!"
Tut ... tut ... tut ...
Dia balas dendam dong! Bukan hanya memotong perkataanku, tapi juga langsung mengakhiri panggilan!
Aku membanting telepon dengan gemas. Apa kukasih obat pencahar saja di kopinya?
x-x-x
"Ini kopinya, Bos." Aku meletakkan secangkir kopi yang kubuat di meja kerjanya.
Dia meliriknya beberapa detik. Asap masih mengepul dari minuman itu dan bau khas kopi menguar memenuhi ruangan. Kemudian dia mendekatkan wajahnya ke arah cangkir. Seketika dia mengernyit. "Terlalu panas! Kamu mau lidah saya terbakar? Lagi pula, baunya terlalu tajam. Kamu kayaknya kebanyakan pakai kopi. Ganti!" Perintahnya tanpa belas kasih lalu kembali fokus pada dokumen di hadapannya.
Kurapatkan pelukan pada nampan yang kupegang. Kalau tidak, bisa-bisa nampan itu melayang ke kepalanya. Dia sendiri yang tadi bilang mau kopi hitam panas! "Bos maunya kopi hangat?" tanyaku sembari menggertakkan gigi. Harusnya dia bilang dari awal kalau maunya kopi hangat, biar aku tidak kerja dua kali!
"Ya panas. Tapi tidak panas-panas amat juga," balasnya tidak tahu malu.
Aku mengembuskan napas panjang lalu kembali menggertakkan gigi sebal. "Itu namanya hangat, Bos!"
"Bukan hangat, panas! Panas tapi tidak mengepul seperti itu. Yang itu sih kayak baru mendidih!" Dia ngotot.
Sangat malas berdebat apalagi harus berdiri dengan stiletto tinggi yang kukenakan ini, aku hanya mengamini perkataannya. "Akan segera saya ganti, Bos," ucapku sambil mengangkat kembali cangkir tadi ke atas nampan. Setelah itu membawanya ke dalam pantri.
Tanpa membuang waktu, tapi masih dengan gerutuan-gerutuan yang tanpa henti keluar dari mulutku, aku mulai membuat kopi yang baru. Kali ini aku hanya menyeduhnya dengan air panas tiga per empat cangkir, lalu menambahkan air biasa untuk mengurangi panasnya. Sesudahnya langsung kubawa ke ruangan si CEO. Jangan sampai dia mengatakan kopi itu tidak panas sama sekali karena terlalu lama kubawa.
Sekali lagi aku meletakkan cangkir di meja kerjanya. Dia melirik. Mungkin karena tidak melihat asap yang mengepul, dia meletakkan dokumen yang tadi dibacanya lalu beralih ke kopi buatanku. Diangkatnya cangkir tersebut kemudian menghirup aromanya. Dia mengangguk-angguk kalem, membuat senyumku otomatis terkembang. Tampaknya minuman itu sudah pas seperti keinginannya. "Kalau begitu saya permisi dulu, Bos," pamitku.
"Tunggu!" Seruannya membuatku kembali berbalik.
Kulihat dia mendekatkan tepi cangkirnya ke bibir, menyesap cairan hitam itu pelan. Sekali itu, dia menaruhnya kembali ke tatakan cangkir. "Terlalu pahit. Ganti!"