Cerita Ayah Memori Ibu

Wulansaf
Chapter #1

Pertanyaan Anak Pertama

[Alin:]


Musim pandemi yang sudah dilalui dengan berat selama satu tahun ini hampir semua kantor mempekerjakan karyawannya dari rumah termasuk saya. Tiga tahun bekerja sebagai auditor di salah satu perusahaan yang biasanya banyak menghabiskan waktu di kantor dan bolak-balik ke kost, kini saya harus pindah ke rumah untuk sementara. Tapi kini saya sudah di rumah hampir satu tahun lamanya.

Bukan hanya saya tertekan oleh virus yang menakutkan ini, tapi saya terbebani dengan dua saudara saya yang lain, yang kami memang seringnya bertengkar karena masalah sepele, atau seringnya saya mengalah demi mereka, dan yang paling sering terjadi adalah menontot pertengkaran antara mereka.

Alya, adik perempuan saya yang sekarang sedang menempuh sarjana jurusan sastra semester tujuh itu sering kali bertengkar dengan adik saya yang lain-Arya, sekarang dia baru duduk di kelas satu SMA. 

Hari-hari saya seperti sering menyaksikan pertengkaran antara Tom & Jerry secara langsung. Alya adalah anak yang perfeksionis, semua yang ada di rumah harus berjalan sesuai kemauannya-terutama dalam mengurus Arya. Ayah dan Ibu memang tidak cerewet soal Arya, tapi Alya sendiri seperti Ibu bagi Arya yang harus melakukan ini dan itu dengan disiplin, sementara Arya kepribadiannya memang susah diatur dan semaunya. 

Mungkin di balik pandemi ini, saya bisa mengambil banyak pelajaran dan semua luka-luka masa kecil saya seakan terjawab oleh cerita yang Ayah sampaikan. 

Sehabis maghrib Ibu sudah menyiapkan makan malam, saya membantu Ibu karena Alya sudah stand by di depan tv, kami semua sudah selesai shalat maghrib berjamaah. Alya memilih makan di ruang tv bersama dengan Ayah karena ada pertandingan bola. Tak lama Arya baru pulang dari sekolah dan keributan itu baru akan dimulai. 

  “Langsung mandi Arya, bau kalo nggak mandi.” Arya membuka bajunya yang sudah basah oleh keringat, dia memutar kipas angin dan mengarahkan ke tubuhnya. 

  “Ih jangan berdiri di depan kipas angin lah, bau!” Alya memicingkan matanya dengan sebal. Ayah yag sudah biasa dengan pertengkaran ini sudah tidak terganggu lagi, dia fokus menonton pertandingan dan jadi seru sendiri. 

  “Mbak Alya ini kenapa ya Bu, cerewet banget jadi orang perasaan.” Arya mengadu, itu salah satu cara agar Ibu menghentikan cerewetnya Alya. Dan hanya Ibu yang bisa menghentikan cerewet anak keduanya. “Biarin, namanya juga perempuan.” 

  “Lagian lu kalo nggak mau dicerewetin makanya mandi, gua mah kalo jadi emaknya udah gua seret masuk kamar mandi.” 

Arya itu joroknya memang kebangetan. Dia termasuk orang yang jarang sekali mandi, biasa habis pulang sekolah langsung mengganti baju dengan yang baru tanpa membilas tubuhnya dengan air yang segar serta sabun yang wangi. Sementara Alya adalah anak yang bersih, bahkan mandi pun di rumah harus dia yang mandi duluan, karena kalau tidak, ia akan merasa ada yang menyaingi level kebersihannya. Kalian bisa membayangkan bagaimana orang jorok dan orang bersih tinggal di atap yang sama.

  “Adek mandi dulu sana, mumpung airnya lagi nyala.” Saya menyuruh Sena mandi dengan cara yang baik-baik, sebab aku pun merasa gerah melihat wajahnya yang kusut dan berkeringat seperti itu. 

  “Bukannya mandi lu dari tadi. Malah bolak-balik bolak-balik kaya gosokan!” sekali lagi Alya mengomel. Sena langsung mengambil handuk dan melempar baju kotornya itu pada Ula. Ula menjerit dan Sena langsung masuk ke dalam kamar mandi. “Monyet lu dasar!” 

  “Pusing Ibu, berdua aja ribuuut mulu. Ayah dulu saudaranya ada delapan, nggak ada yang berantem kayak gitu perasaan.” 

  “Emang Ibu tau masa kecilnya Ayah?” Alya sekenanya bertanya. 

Lihat selengkapnya