Cerita Ayah Memori Ibu

Wulansaf
Chapter #2

Musuh Anak Kedua

[Alya:]


Setelah kuliah daring pada sore hari ini, aku sudah bersemangat dari seminggu yang lalu untuk menyaksikan pertandingan bola antara Indonesia melawan Malaysia. Setelah selesai maghrib aku sudah duduk di ruang tv bersama Ayah untuk menyaksikan pertandingan. 

Ibu di dapur sedang menyiapkan makan malam, di sana ada Mbak Alin yang membantu Ibu, biasanya aku yang membantu, sepertinya Mbak Alin sudah menyelesaikan pekerjaan kantornya, jadi dia bisa membantu Ibu untuk menyiapkan makan malam. 

Sebelum pertandingan dimulai, aku ke dapur sebentar untuk melihat Ibu menggoreng apa karena harumnya tercium sampai ke luar. Kulihat Ibu sedang menggoreng ikan, sementara Mbak Alina sedang mengulek sambel terasi di atas cobek. 

  “Tolong ya bi… buat sambelnya yang enak.” Mbak Alina menoleh dan dia memicingkan matanya. Tak lama makanan siap disajikan. Aku kembali lagi ke dapur untuk mengambil nasi. Di meja makan kulihat ada ikan goreng, tempe, tahu, juga sayur tumis pakcoy dan jangan lumpa sambal terasi buatan Mbak Alina. Sebenarnya aku tahu Mbak Alin tidak suka sambal terasi sama seperti Ibu karena baunya. Sambil mengulek sambal mulutnya tak berhenti mendumel karena baunya yang terlalu menusuk hidung.

  “Ayah mau makan di ruang tv, Bu… sekalian Alya bawa punya Ayah piringnya.” Aku membawa piring Ayah ke ruang tv sementara Ibu dan Mbak Alina makan di meja makan. Kulihat acara sudah dimulai, wasit utama sudah meniup pluit sebagai tanda dimulainya pertandingan. Kami menikmati makan malam sambil menonton pertandingan. 

Sejujurnya aku agak canggung ketika menonton bola bersama Ayah, karena pasti teriakanku akan tertahan karena malu jika heboh sendiri di depan tv. Sementara Ayah sendiri ketika menonton bola jadi seperti coach di balik layar yang mengatur permainan, aku jadi keberisikan sendiri, lagian apa yang Ayah komentari tidak akan didengar oleh para pemain, jadi buat apa? 

  “Aduh… harusnya nendangnya jangan tinggi-tinggi itu, tujuannya mau nendang ke arah mana?” Ayah berkomentar, padahal di tangannya masih ada piring yang belum selesai dihabiskan. Menit-menit selanjutnya Ayah semakin heboh sendiri karena timnas selalu nyaris memasukkan bola ke gawag, aku jadi gemas sendiri tapi malu untuk berteriak, jadi jantungku turun naik ta karuan. 

Piringku sudah tandas, sambal terasi buatan Mbak Alina pedasnya membuat air mataku keluar, padahal aku tau dia tidak suka sambal terasi dan selalu mengeluh menciumnya, sementara ikan gorengnya manis karena masih segar dan gurih. Aku tak pernah khawatir tentang masakan di rumah, karena kami memiliki chef bintang lima yang masakannya luar biasa enak. Aku beranjak ke dapur untuk meletakkan piring kotor, Ayah juga bangkit karena sudah selesai makan. 

Lihat selengkapnya