Ini cerita kakek ku saat kolonial Belanda menguasai tanah Deli.
Tanah Deli 1933.
Aroma tembakau menyeruak di sepanjang perkebunan tidak jauh dari kota Paris Van Sumatera. Daun-daunnya yang hijau bergoyang tertiup angin dan melambai-lambai bak lambaian tangan seorang gadis. Matahari senja telah menunjukkan warna merah saga di ufuk barat dan membias ke seluruh perkebunan tembakau.
Pada perkebunan tembakau berdaun lebat, seorang laki-laki berkulit kemerahan berambut pirang tampak kelelahan dengan keringat yang menetes di keningnya. Ia bukan sedang bekerja atau memanen daun tembakau, tapi ada seorang gadis yang merintih dan merontah di bawah tubuhnya. Sungguh senja yang tak diinginkan gadis itu. Senja yang durjana bermuram duka. Pada senja yang sepi tak seekorpun hewan malam berkicau. Hanya desahan nafas laki-laki bejat yang bergemuruh di perkebunan itu.
Keringat membanjiri wajah dan tubuhnya. Ia seperti mengayuh pada sebuah perahu nelayan yang oleng karena ombak, kemudian tenggelam dalam lautan kenikmatan. Setelah laki-laki itu melampiaskan hasratnya, ia meninggalkanya begitu saja, seorang gadis remaja tak berdaya. Malam jahanam bagi gadis yang kehilangan kehormatannya.
Gadis itu bangkit dan terhuyung di antara pohon tembakau. Air matanya menganak sungai membanjiri pipi. Matanya penuh dengan bulir-bulir kesedihan. Pandangannya nanar dan ia mengepal kedua jemari tangannya. Darah keperawan meleleh dari selangkangan sampai ke paha. Ia tampak sempoyongan dan hampir jatuh.