Aku menemukan buku yang bentukanya sudah usang. Catatan perjalanan ayahku di tahun 1997. Sepertinya cerita tentang kehidupannya sebelum bertemu ibu. Aku membuka sampul depan yang sudah kelihatan usang. Warnanya juga sudah kekuningan. Di lembar pertama tertulis AJIDARMA. Itu nama ayahku.
Medan, 1997. Namaku Ajidarma.
Desa tempat kelahiranku di dekat perkebunan tembakau. Beberapa kilometer dari kota Medan. Aku berjalan sambil membetulkan letak ranselku, kemudian aku memperhatikan pohon-pohon tembakau yang tumbuh dengan suburnya. Daun-daun itu bergoyang tertiup angin dan aromanya terbawa sampai ke hidungku.
Aku membayangkan, bagaimana perkebunan ini zaman dulunya. Zaman penjajahan Belanda. Karena tak jauh dari perkebunan ada sebuah bangunan yang bertuliskan 1920 yang menurutku sangat bersejarah. Apa yang terjadi pada tahun itu? Pikirku melambung jauh.
Tahun 1920 banyak kejadian mengerikan yang terjadi. Pembantaian di bangsal termbakau dan terjadinya wabah penyakit yang menewaskan ribuan manusia. Spanish flu, penyakit berbahaya yang tidak ada obatnya. Penyakit itu menyebar pada tahun 1918 sampai 1920 yang mulai menyebar di Amerika. Pandemik terburuk sepanjang sejarah menelan korban sepertiga manusia di bumi. Aku bergidik memikirkan wabah virus itu.
Aku kembali mengedarkan pandang pada areal perkebunan tembakau. Konon perkebunan itu dibuka pada tahun 1867, di oleh seorang pria Belanda bernama Nieunhuijs. Sejak saat itu nama Deli Serdang Sumatera Utara di kenal sebagai penghasil tembakau terbaik.
Pada tahun 1858, Tanah Deli dikuasai oleh Belanda setelah Sultan Siak, Sultan Al-Sayyid Sharif Ismail, menyerahkan tanah kekuasaanya kepada Belanda.
Kedatangan para pekerja dari pulau Jawa sebagai buruh kontrak di perkebunan tembakau, tidak merubah nasib mereka sedikit pun. Apalagi para pekerja berasal dari Jawa banyak yang buta huruf. Mereka terjebak kontrak yang tidak sesuai harapan.
Dulu para pekerja pabrik dan perkebunan sangat dekat dengan klenik dan itu melekat sampai sekarang. Di sudut-sudut gudang mereka meletakkan sesajen untuk para tak kasat mata agar panen mereka berlimpah.
Bagi gadis-gadis yang belum menikah, mereka diiming-iming dipekerjakan sebagai pelayan, nyatanya sebagian mereka dijadikan pelayan untuk tamu-tamu hidung belang.
Aku berjalan di sepanjang areal perkebunan dan mengamati areal itu dengan seksama. Entah apa yang terjadi pada zaman kolonial Belanda dulu. Konon ada seorang gadis yang dijuluki gadis tembakau menjadi gundik seorang kapten Belanda. Gadis belia yang baru berusia enam belas tahun, ingin merubah nasibnya karena keadaan di desa sangat memprihatinkan. Gadis itu paling cantik di antara gadis-gadis lain. Banyak yang suka padanya sampai memperebutkan cintanya.
Dulu ada seorang pemuda yang mencintai gadis tembakau. Mereka sama-sama bekerja sebagai seorang buruh di perkebunan tembakau. Cerita cinta tentang mereka begitu menghipnotis para buruh. Cinta yang menarik untuk diingat sebagai sejarah.
Seorang pemuda bernama Lanang. Mencintai Nirmala, gadis berusia 18 tahun berambut panjang. Cinta mereka terhalang oleh kekejaman orang-orang berkulit putih. Lanang ditangkap tanpa sebab. Ia mendekam di penjara saat ingin melamar Nirmala. Dan malam itu Nirmala mengalami nasib yang sangat kejih. Ia harus kehilangan kehormatannya dan orang-orang kulit putih sudah menghancurkan masa depannya. Nirmala pun menemui ajal ketika ia mengkat lehernya pada seutas tali tambang. Nirmala bunuh diri dan menyisahkan kisah cinta yang sangat perih. Begitulah cerita tentang Nirmala yang sangat dramatis.
Ayah ku pernah bercerita tentang desa ini. Desa di dekat perkebunan tembakau. Dimana hamparan pohon tembakau tumbuh dengan suburnya. Daun-daun yang hijau mengeluarkan aroma yang khas tembakau asli. Para lelaki bekerja sebagai pengangkat daun-daun yang dipanen sedangkan para gadis memetik daun tembakau dengan gesit. Cerita perempuan tembakau pun sangat terkenal di desa kami. Warga di sini menggantungkan kehidupan mereka dari hasil panen tembakau.
Dulu, zaman kolonial Belanda, desa tembakau menjadi pusat penghasilan terbesar yang mengeksport tembakau ke luar negeri. Ada cerita lain dari cerita-cerita perempuan tembakau. Tak jarang perempuan-perempuan yang masih muda belia mereka jadikan pemuas nafsu mereka. Malah ada yang menjadi pelacuran hanya karena kehidupan mereka yang sangat miris. Mereka masih sangat muda. Masih belasan tahun umurnya. Bahkan banyak yang menjadi gundik para laki-laki berkulit putih. Dan aku baru tahu kalau nenekku bekas seorang gundik orang Belanda.
Tragedi pembakaran rumah pun sangat memilukan. Banyak korban yang tewas terpanggang di dalam rumah. Pada malam yang gelap rumah-rumah di desa perkebunan tembakau dibakar. Suara jeritan-jeritan perih dan suara tangis kematian membahana di malam itu. Malam naas yang masih diingat sampai sekarang. Serdadu-serdadu perang menembak seluruh warga. Sadis dan mengerikan.
Aku bergidik ketika melihat desa itu saat ini dengan puing-puing yang sudah ditumbuhi tumbuhan menjalar. Sisa-sisa kejadian itu seolah tergambar jelas di mataku. Rumah-rumah itu akan menjadi saksi bisu betapa kejam dan sadisnya mereka. Banyak anak-anak yang dibantai dan ditembak mati ketika itu.
Anak-anak itu menjerit dan berteriak ketakutan. Kepala mereka dipenggal dan dibuang begitu saja. Tubuh mereka berkelojotan di tanah dan darah membanjiri seperti air hujan. Aku bergidik.
Aku terus saja berjalan dan sampai di rumah permanen yang cukup lumayan di desaku. Lampu teras sudah menyala dan aku mengucapkan salam.
“Assalamualaikum …,” sapaku.
Ku lihat ibu tergopoh-gopoh dari dalam menyambut kedatanganku. “Waalaikumsallam …,” balas Ibu menyambut dengan senyum mengembang. “Kamu udah sampai?” tanya ibu seraya menyapaku.