CERITA BAPAK TENTANG MASA LALU

Embart nugroho
Chapter #3

Lelaki Tua dan Cerita Masa Lalunya

Warna merah bata di ufuk barat mulai terlihat. Aku duduk di kursi kayu halaman belakang dan kembali memperhatikan perkebunan tembakau yang luas. Aku melihat seorang lelaki tua berjalan tertatih. Kulitnya hitam dan keriput. Aku baru melihat laki-laki itu selama aku di desa ini. Entah siapa dia, apakah aku yang terlalu terlena hingga tidak perduli dengan keberadaannya?

Aku menghampirinya dan membawa sisa singkong rebus di meja. Dia tinggal di dekat gudang tembakau. Sangat sederhana, terbuat dari bambu beratap seng yang sudah berkarat kemerahan. Laki-laki tua dengan bekas luka di pelipisnya. Berjalan tersaruk-saruk masuk ke dalam rumahnya. Terbatuk dengan berat, lalu ia keluar dan duduk di depan rumahnya.

Aku memperhatikan wajahnya yang penuh kerutan dan bercak kehitaman. Aku seperti melihat bangunan-bangunan tua yang sudah runtuh, hancur dan porak-poranda.

Di matanya masih terlihat tanah-tanah gersang yang tandus, kapal-kapal pecah, bangkai manusia yang tergolek di antara reruntuhan, dan tanah kuburan tua yang sangat kering. Di wajahnya masih tergambar selaksa kehidupan yang berdebu, hitam bagaikan kayu bakar.

Aku memang tidak kenal dengannya. Aku tidak pernah bertemu dengannya sejak kepergianku tujuh tahun yang lalu. Siapa dia dan darimana asalnya. Tapi aku ingin tahu cerita tentang dia.

Saat aku menatap wajahnya, terlukis wajah-wajah merah menyergap, menghunus belati dan merobek-robek seluruh masa depannya. Wajahnya keriput dan rambutnya sudah memutih. Kurus dan ringkih. Bola matanya tidak setegas dulu, tatapannya tidak setajam dulu.Berabad-abad lalu dia diam dalam kesendiriannya.

Aku tidak tahu usianya berapa, tapi melihat wajah tua itu, sepertinya ia sangat tua. Dan separuh usianya dia habiskan dengan tinggal sendiri dalam rumah yang sangat sederhana.

Aku melihatnya saat ia tertidur di teras rumahnya. Di atas kayu yang tersusun sembarangan. Perlahan aku membangunkannya dan dia pun terbangun sambil menghapus matanya.

“Assalamualaikum,” sapaku.

“Waalaikumsalam.“ Ia menjawab dengan suaranya yang berat.

“Kenapa kakek tidur di sini?” tanyaku pelan. Lelaki tua itu terdiam. Aku memandangnya dengan lekat. Wajahnya masih terlihat kepedihan yang sangat dalam.

“Saya ketiduran, Nak,” ujarnya.

“Kenapa sampai ketiduran, Kek?” Aku semakin penasaran.

“Kakek capek,” jawabnya singkat.

Aku duduk di sebelahnya dan mengamati wajah tua itu. Garis-garis perjuangannya dulu masih kentara. Pasti banyak pengalaman tentang cerita masa lalu.

“Sebenarnya ada apa, Kek?” Aku berusaha bertanya ingin tahu tentang dia.

Lelaki tua itu menghela nafas dengan berat. Kemudian manatapku dengan lekat.

“Hmmm, entahlah .... Sudah beberapa hari ini pikiran kakek terganggu,” ucapnya dengan suara lirih. Dia menghapus matanya yang sedikit berair.

“Isirahat saja kalau masih capek, Kek,” kataku sambil meletakkan singkong rebus di depannya. “Ini saya bawakan singkong rebus untuk kakek.”

Mata lelaki tua itu merebak. Lama ia terpaku, lalu menatapku. Bibirnya bergetar. “Terima kasih, Nak. Baru kamu yang memberi kakek singkong rebus. Selama ini tidak ada yang perduli dengan kakek.”

Aku tertegun sejenak. “Kenapa begitu?” tanyaku ingin tahu.

“Entahlah …. Mungkin karena kesalahan kakek waktu dulu. Kau siapa?” tanyaknya kemudian.

“Saya Ajidarma, anaknya Galih bin Abdullah.” Aku menjawab. Ia menatapku lekat seperti mengingat nama itu dalam waktu yang lama.

“Abdullah?” Ia mempertegas seolah mengingat nama itu. “Kau cucunya Saman juga?” tanyanya kemudian. Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Kemudian ia menelan liurnya sejenak, lalu menarik nafas dalam-dalam. Setalah itu ia bercerita dengan suara berat. “Sebenarnya ingin sekali saya berbagi cerita ini dengan orang lain, Nak. Tapi saya tidak tahu harus bercerita dengan siapa?” Suaranya semakin parau.    

Lihat selengkapnya