CERITA BAPAK TENTANG MASA LALU

Embart nugroho
Chapter #4

Cerita Nek Melur

Aroma tembakau menyeruak di sekitar perkebunan. Para pekerja sudah berada di perkebunan tembakau. Para perempuan juga sudah memetik daun-daun tembakau. Ada yang membersihkan lahan, ada juga yang mengangkat daun tembakau ke bangsal. Mereka terlihat bahagia walau gaji yang mereka terima pas-pasan untuk kehidupan.

Pagi yang cerah dengan sinar matahari yang merambat lembut menyinari daun-daun tembakau. Awan-awan putih bertebaran di langit yang biru dan suara burung berkicau di depan kamarku. Ada pohon manga yang tumbuh subur di sana. sedang berbunga dan aku harus menunggu beberapa minggu lagi untuk memetiknya.

Pekerja di perkebunan tembakau masih banyak yang dulunya dari pulau Jawa. Hingga kini masih ada keturunannya. Aku membuka laptopku dan menuliskan cerita-cerita menarik tentang mereka. Bagaimana segarnya suasana di sini dan bagaimana mereka bekerja dengan tekun.

Setiap pagi mereka datang berjalan kaki dan ada yang naik sepeda. Itu semua mereka lakukan dengan senang hati dan demi sesuap nasi. Wajah mereka diolesi bedak dingin yang belepotan di sana-sini, tapi mereka tak menghiraukannya. Mereka sangat senang melakukannya.

Saat ini perkebunan tembakau sudah tidak seperti dulu lagi. Para pekerja sudah banyak yang alih profesi bekerja di tempat lain. Miris memang kalau hanya mengharapkan gaji buruh perkebunan tembakau yang tidak seberapa.

Aku mulai mengetik beberapa kalimat di laptopku, tak berapa lama ibu masuk ke kamarku. Ibu mengajakku ke rumah nek Melur.

“Ji, temeni ibu yuk. Ibu mau mengantar makanan ini ke rumah Nek Melur,” kata ibu dari pintu kamar. Aku terhenyak dari tempat dudukku. Nek Melur? batinku.

Nek Melur juga salah satu korban dari kejihnya orang-orang berkulit putih zaman kolonial. Dengan semangat aku bangkit dari tempat duduk ku dan menemui ibu.

“Kita berangkat sekarang, Bu?” tanyaku berisiap-siap sambil mengenakan jaketku.

Ibu mengangguk dengan membawa seperangkat makanan untuk Nek Melur. Perempuan yang menyelamatkan nenek ku.

Kami mengendari sepeda motor tahun tujuh puluhan melalui perkebunan tembakau. Melewati beberapa bangsal dan kantor perkebunan dengan plankat 1920. Membayangkan tahun itu aku seperti melihat tentara-tentara Belanda di sana. Betapa mereka menguasai negeri ini dengan seenaknya.

Setelah melewati perkebunan tembakau, akhirnya kami tiba di rumah sederhana dengan pagar bambu. Ibu langsung saja masuk sambil membawa bekalnya. Aku menemui nek Melur yang duduk di sudut jendela. Pandangannya menerawang ke halaman depan.

Nek Melur. Dia lahir di tahun 1916, sudah lama sekali. Usianya sudah delapan puluh tahun. Aku ingin mendengar cerita tentangnya. Cerita para perempuan tembakau dan para perempuan yang menjadi pelacur di zaman kolonial. Konon perempuan-perempuan itu sudah banyak yang meninggal dunia. Hanya nek Melur satu-satunya perempuan yang tersisa.

“Bagaimana kabarnya, Nek?” tanyaku membuka obrolan kami.

Nek Melur menoleh menatapku tajam.

“Baik. Kamu siapa?” Ia balik bertanya padaku dengan suara berat dan terbata.

“Saya Ajidarma, Nek. Cucunya Saman,” jawabku.

Ia tersenyum padaku dan mencomot-comot pipiku. “Cucu Saman toh,” katanya dengan suara serak khas nenek-nenek tua.

“Sudah lajang, ganteng lagi,” kata nek Melur. Aku hanya tersenyum keki. Aku memang ganteng, keturuan ayahku. Jangan sirik. Kemudian aku ingin bertanya-tanya lagi pada Nek Melur.

Ku biarkan ibu yang ngobrol ngalur-ngidul bersama cucu dari adik nek Melur. Entah apa yang mereka obrolkan hingga suara cekikiannya terdengar sampai ke kamar nek Melur.

Wajahnya sudah banyak keriput dan matanya sedikit berselaput putih. Namun ingatannya masih tajam tentang cerita itu. Cerita dimana hancur masa depannya. Kisah cintanya yang tragis dan pengalamannya menjadi seorang gundik. Pengalaman? Rasanya tidak pantas disebut pengalaman.

Dulu ia gadis yang cantik. Banyak laki-laki yang jatuh hati padanya. Namun, cintanya hanya untuk sorang laki-laki. Laki-laki pribumi yang tampan menurutnya. Laki-laki berkulit sawo matang yang sangat rajin bekerja. Melur juga sering mencuri pandang saat waktu istirahat tiba. Melur sangat mencintai laki-laki itu.Melur jadi rebutan dua orang laki-laki.

Daun-daun hijau terhampar luas sejauh mata memandang. Aroma tembakau menyeruak di sepanjang perkebunan. Suara peluit sore berbunyi dan semua aktifitas berhenti. Saman menghentikan kegiatannya dan menyeka keringat dengan lengan kananya. Ia mengangkat topi capingnya yang basah. Kemudian melihat seorang gadis yang berjalan di ujung perkebunan.

Lihat selengkapnya