Pagi-pagi sekali aku dikejutkan dengan suara Ayu yang menggedor pintu kamarku begitu kerasnya. Seperti gempa bumi 7 skala richter. Pintu itu akan berteriak andai saja dia bisa teriak. Padahal aku masih ngantuk. Berat aku bangun dan menuju pintu. Mataku juga masih beberapa watt dan kesadaranku belum penuh.
“Ada apa?” tanya ku sambil memicingkan mata dan menguap lebar. Ku lihat Ayu menatapku lekat.
“Ada kebakaran!” kata Ayu panik. Aku pun ikut panik dibuatnya.
“Hahk? Kebakaran? Di mana?” Mataku terbuka lebar dan menguceknya beberapa kali. “Di mana kebakarannya?”
“Udaaahh, nggak usah sok panik gitu,” katanya polos. “Apinya sudah padam kok.”
“Kamu bikin panik aja.” Aku mencubit hidung Ayu.
“Aduhhh, sakit nih. Mas Aji kebiasaan ah,” keluhnya sewot. “Yang panik itu Maisaroh. Ngapain juga dia datang pagi-pagi buta, bawain sarapan untuk mas Aji? Mas Aji sudah menjanjikan apa sama dia?”
Aku menggeleng. “Nggak ada,” kataku dengan ekspresi heran dan mengenaskan.
“Trus ngapain dia masakin mas Aji sarapan. Dengan sepenuh hati katanya. Ighh…” Ayu bergidik. “Iiiihhh…”
“Kenapa?” tanyaku.
“Ya iyalah. Jadi cewek itu jangan ngebet aja sama cowok. Awas loh kalau sampai dia nuntut bunting!” ancam Ayu padaku.
“Bunting? Hei, mas Aji nggak ngapa-ngapain sama dia,” elakku membela diri.
“Trus tuh cewek ngapain datang-datang ke rumah?” Ayu membelalakan matanya.
“Ya nggak tau,” jawabku berkilah. Aku mendegut ludahku yang masih getir. Bunting? Dia bunting sama siapa? Ada-ada saja perempuan satu itu.
“Cepat mas jumpai dia. Semakin cepat semakin bagus, biar dia cepat pulang,” kata Ayu kemudian.
“Huh.” Aku berlalu ke kamar mandi dan mencuci wajahku. Ayu berlalu ke dapur nemui ibu.
Aku keluar dengan perasaan yang campur aduk. Aku tidak mau kejadian waktu itu terulang kembali. Memeluk erat tubuhku. Memang sejak Sawal meninggal ia seperti kurang kasih sayang dari seorang kakak. Tapi, apa harus memeluk orang lain? Bukan muhrimnya lagi.
“Pagi, Saroh,” sapaku biasa saja. Ku lihat gadis berhijab sedikit panjang itu menatapku sambil mengumbar senyum. Dia cari perhatian kelihatannya. Ia mengenakan baju kurung dan rok panjang, seperti guru Madrasah.
“Assalamualaikum, Mas Aji,” balasnya menyapa. “Nih Saroh buatin sarapan. Saroh masak sendiri dari hati yang paling dalam. Mas Aji sarapan ya," kata Maisaroh dengan suara yang dibuat selembut mungkin.
“Hmm, nggak usah repot-repot, Saroh. Mas Aji jarang sarapan pagi kok,” kataku menolak. Padahal ibu selalu menyiapkan sarapan pagi untuk kami. Aku akan sarapan masakan ibu.
“Nggak apa-apa, makanya nanti aja, Mas. Nanti siang Saroh masakin lagi kalau mas Aji suka.”