Rumah itu tampak serasi dari luar. Warna bata di bagian terasnya dan cokelat muda menjadi lis di beberapa sisi rumah. Aku masuk setelah dipersilahkan Salvinia. Baru kali ini aku bertamu ke rumah seorang anak gadis yang ku kenal.
Aku duduk di kursi empuk yang di sana sudah duduk seorang laki-laki bertubuh gempal. Salvinia masuk ke dalam kamarnya. Begitulah anak gadis, akan masuk kamar jika ada tamu. Mungkin dia malu atas kedatanganku.
Aku menganggukan kepala tanda hormat. Aku mendegut ludah yang terasa getir. Segetir pohon maja.
“Namamu siapa?” tanyanya dengan suara berat dan tegas. Wajahnya sangat seram menurutku. Kumis tebal dan berkulit hitam dengan mata sedikit memerah. Sepertinya laki-laki itu bekerja sebagai centeng di perkebunan tembakau. Aku masih ingat waktu kecil dulu. Begitulah wajah seorang centeng yang sangar.
“Ajidarma, Pak,” jawabku sedikit gugup. Tak pernah aku segugup dan segemetar seperti ini.
“Sudah berapa lama kamu kenal dengan anak saya?” Nada itu lagi-lagi tidak bersahabat. Ada rasa ketidak sukaan dirinya padaku.
“Mmm… Baru beberapa hari ini, Pak. Tapi saya mencintai anak bapak,” kataku dengan jantung bergemuruh kencang, seperti melihat sosok menyeramkan di depanku. Aku berharap laki-laki baya itu melembutkan nada suaranya dan menerimaku apa adanya.
“Baru beberapa hari?” Dia menaikkan alis matanya dan melebarkan bola mata. “Kamu kerja di mana?” Suara itu seperti suara halililntar yang akan menyambarku.
“Saya masih kerja serabutan, Pak,” jawabku polos.
“Yang datang kesini sudah beberapa laki-laki. Semuanya sudah mapan. Ada yang polisi, angkatan udara bahkan dokter. Tapi semuanya ditolak sama Salvinia dan kau nekat mau mendekati anak saya?”
“Saya akan berusaha memberi yang terbaik ke Salvinia. Saya sangat mencintai anak bapak,” kataku sungguh-sungguh. Aku memang tidak main-main masalah cinta. Ini dari lubuk hatiku yang paling dalam.
Sejenak situasi hening dan laki-laki itu mengamatiku lekat-lekat. Pandangan matanya sangat tajam hingga menghunus jantungku.
“Kau anak siapa?” tanyanya kemudian.
“Saya anak Galih, Pak. Kakek saya Abdullah dan Saman,” jawabku tegas. Laki-laki di depanku menatap tajam dan diam. Aku tidak tahu tatapan apa itu. Sepertinya ia terkejut mendengar garis keturunanku.
“Sebaiknya kau jauhi Salvinia,” katanya membuatku terkejut dan dadaku seperti mau meledak. “Saya sudah menjodohkannya dengan laki-laki lain dan dia tidak pantas bergaul denganmu.”
“Maksud, Bapak?” tanyaku sambil mendongak.
“Kau tanya ibumu, siapa aku. Sekarang kau pulang dan jangan pernah datang lagi!”
“Tapi, Pak. Saya mencintai Salvinia.”
“Kau kubur saja cintamu dan pergi jauh dari kehidupan anak saya!”
Aku semakin bingung. Hatiku bagai teriris-iris pedih.Aku tidak terima semua ini.
“Pak, beri saya kesempatan sekali saja.”
“Ini bukan masalah kesempatan. Kau belum tahu apa-apa masalah ini. Pulanglah! Sebelum saya berubah pikiran!”
Aku mendegut ludahku yang terasa pahit. Dengan berat hati aku beranjak dari tempat dudukku sebelum semuanya menjadi kacau. Ada apa sebenarnya ini?Aku ingin tahu ada apa. Ku lirik jendela kamar Salvinia dan kulihat wajah sendu itu. Ada setetes air bening yang membasahi pipinya. Aku menunduk dan pergi.
###
Tiga orang laki-laki berdiri di depanku. Wajah mereka bengis dan satu diantaranya pernah memukulku waktu itu. Ya pemuda kampung yang mengejar-ngejar cinta Salvinia.
“Aku sudah memperingatkanmu. Jangan sekali lagi ku lihat wajahmu di kampung ini!” Sergahnya dengan nada keras. Aku mengamati mereka satu persatu. Tak sedikit pun mereka menunjukkan wajah ramah dan bersahabat.