Aku nekat menemui Salvinia di kampusnya. Setelah ku parkirkan motorku, aku berjalan masuk ke areal kampus. Ku perhatikan satu per satu mahasiswi di sana dan aku melihat Salvinia berjalan bersama temannya. Aku menghampirinya dengan senang hati.
“Salvinia…,” panggilku pelan. Teman yang bersamanya pun langsung ngeloyor pergi meniggalkan Salvinia.
“Mas, Aji…” serunya. “Ngapain mas Aji kemari?” tanyanya penasaran.
Aku salah tingkah dan menggaruk-garuk kepalaku. Lagi-lagi kepala yang menjadi saran orang-orang salah tingkah. Kenapa tidak mata, telinga atau dengakul yang digaruk.
“Mas Aji kangen,” kataku malu-malu. Salvinia mengajakku ke sebuah kantin dan kami duduk berhadapan. Salvinia menatapku sangat tajam. Tatapan itu menembus jantung hingga berdetak lebih kencang.
“Sepertinya hubungan kita nggak bisa berlanjut, Mas,” kata Salvinia dengan suara berat. Ekspresi wajahku langsung berubah. Pikiran-pikiran lain bertengger di benakku. Apakah Salvinia tidak mencintaiku?
“Kenapa?” tanyaku ingin tahu. Ku amati wajah senduh tak berdosa itu. Ada yang ia sembunyikan dariku.
“Ayah melarang Salvinia. Ayah nekat memutus kuliah Salvinia jika Salvinia masih berhubungan sama mas Aji.” Salvinia menunduk dengan wajah sedih.
“Vinn… Mas Aji sangat mencintaimu. Cinta mas Aji bukan bohongan. Sejak pertama sekali ketemu, hati mas Aji sudah jatuh cinta sama Salvinia.” Suaraku agak berat, pengaruh mendengar kata-kata Salvinia. “Apa Salvinia tidak cinta sama mas Aji?” Tanyaku kemudian. Salvinia mndongak perlahan, lalu menunduk lagi. Matanya merebak dan segelintir air bening menets di pipinya.
“Salvinia mencintai mas Aji. Tapi…,”
“Percayalah sama cinta mas Aji. Kita bisa membina rumah tangga kecil yang bahagia,” kataku sungguh-sungguh.
“Tapi, Mas…” Salvinia terisak. Kemudian menghapus airmatanya dengan tisu. “Salvinia masuk dulu,” ucapnya sambil beranjak. “Maafkan Salvinia, Mas…” Salvinia pun masuk ke kampusnya. Aku hanya memandangnya dari jauh. Aku pun beranjak dengan lunglai. Seperti tidak ada tenaga yang menopangku.
###
Aku dikejutkan dengan suara yang lantang sore itu. Seperti meriam yang menyerang kota Gaza. Keluarga Maisaroh datang beramai-ramai dengan maksud yang tidak ku mengerti. Ada apa ini? Pikirku. Aku mengucek mataku dan buru-buru keluar dari kemar.
Belum lagi masalah Salvinia selesai, kini aku dihadapkan dengan keluarga Maisaroh yang dulu pernah menuduhku pencuri sampai aku mengalami traumatik yang mendalam. Wajah keluargaku tercoreng dan malu. Ibu juga merasa harga dirinya jatuh diinjak-injak keluarga Maisaroh. Ibu menyimpan rasa malu itu bertahun-tahun.
Ibu juga terkejut keluar dari dapur. Apalagi Ayu yang masih beberes buku-buku kuliahnya. Dia langsung menemuiku di ruang tamu dan memberondong beberapa pertanyaan padaku. Ibu menghadapi mereka sendirian sementara Ayu menahanku.
“Mas Aji sudah berbuat apa ke Maisaroh?” tanya Ayu hingga menembus jantungku sampai aku kesulitan bernafas. Aku menggeleng bingung. Aku tidak melakukan apa-apa, pikirku.
“Nggak ada. Mas Aji nggak ngelakuin apa-apa ke Maisaroh,” jawabku polos sambil menggelengkan kepala.
“Trus, ngapain keluarga Maisaroh datang semua? Pasti ada kejadian yang mereka tidak terima, Mas. Kalau tidak mereka tidak akan kesini begitu saja,” kata Ayu seraya menatapku lekat.
“Suer mas Aji nggak ngelakuin apa-apa,” kataku sampai bersumpah di depan Ayu. Kemudian dia keluar dan aku mengikutinya. Ku lihat wajah ibu masih tenang menghadapi mereka dan aku yang kini khawatir.
“Kalian mau apa lagi? Belum puas kalian menuduh anak saya pencuri?” kata ibu dengan suara berat dan lantang. Mereka menatap ibu lekat-lekat, lalu menunduk sejenak. Setelah itu mendongak menatap wanita tangguh yang ku panggil ibu.
“Kami hanya ingin meminta pertanggung jawaban Ajidarma. Dia sudah memperkosa Maisaroh,” kata laki-laki baya bernama Tarjo. Laki-laki itu ayah Maisaroh. Dialah yang menuduhku pencuri hingga aku masuk penjara selama dua tahun.
Deg. Aku kaget. Dadaku seperti terkena serangan bom atom dan meledak menghancurkan segalanya. Mereka menatapku begitu juga ibu dan Ayu. Mata-mata mereka seperti mengulitiku hidup-hidup. Pertanggung jawaban apa? Pikirku. Aku mengernyitkan kening pertanda tidak mengerti maksud mereka.