Aku terjaga dan terbangun. Kejadian tadi hanya mimpi, bathinku. Saman? Bukankah dia kakeku? Kakekku difitnah? Dan siapa Teja? Siapa Surti? Belum sempat aku mengingat mimpiku, tiba-tiba ada yang menggedor pintu. Aku terkejut dan bangkit dari tidurku. Aku terkesiap dan membuka mataku. Badanku sakit semua karena pukulan semalam. Seperti baru mendapat pukulan berkali-kali tulang-tulangku terasa patah.
“Ada yang menjengukmu,” kata seorang penjaga berbadan tegap. Ia membuka pintu dan menariku dengan paksa. Kemudian aku berjalan keluar dan menemui seseorang yang menjengukku. Gadis itu, gadis yang menuduhku memperkosanya.
“Untuk apa kau kemari?” tanyaku. Suaraku sangat berat karena malam tadi berteriak-teriak menutut keadilan. Aku jengah melihatnya.
“Saroh bawakan sarapan, Mas,” katanya lembut. Aku bosan dengan kepura-puraanya. Untuk apa dia membawakanku makanan? Aku tidak butuh simpati dari dia. Dia hanya kuanggap sebagai seorang adik, tak lebih dari itu.
“Tidak usah repot-repot kau membawakan aku makanan. Ibuku akandatang membawakan makanan. Sekarang katakan apa maumu?” tanyaku tidak bersahabat. Mungkin sebagi tanda aku tidak suka dengan kehadirannya.
“Maafkan Saroh, Mas…. Saroh melakukan ini karena Saroh mencintai mas Ajidarma,” ujarnya lembut. Aku semakin jengah dengan kata-katanya. Perkataan itu kudengar tujuh tahun yang lalu saat aku juga masih begitu polos dengan cinta.
“Tapi aku tidak mencintaimu, Saroh! Aku tidak menyentuhmu dan aku tidak memperkosamu! Dari mana kau bisa menuduhku memperkosamu! Ini hanya akal-akalanmu saja kan?!” Nada suaraku tidak bisa ku kontrol. Biar saja mereka mendengar pengakuanku. “Pikirkan atas perbuatanmu. Kau telah mencoreng nama baik ibuku dan keluargaku. Dan ingat, aku tidak akanmemaafkanmu! Apa lagi untuk menikah denganmu!” kataku sangat bengis. Ku luapkan semua emosiku padanya. Agar dia tahu betapa aku tidak menyukainya.
“Mas…” Gumamnya “Saroh sangat mencintai mas Aji,” ucapnya kemudian.
“Tapi tidak begini caranya, Saroh! Aku nggak ikhlas sampai mati! Lebih baik kau mengaku saja siapa yang memperkosamu!” kataku dengan penuh emosi. “Aku akan menuntut balik atas tuduhanmu.”
“Mas, jangan….” katanya memohon.
“Katakan siapa yang memperkosamu atau kau akan dipenjara karena munuduh orang tanpa bukti,” kataku menakuti.
Lama ia terdiam dan menuduk, kemudian mendongak menatapku. Matanya terlihat berkaca-kaca ketika ingin mengatakan pengakuan itu.
“Saroh akan mengatakannya di pengadilan besok, Mas.” Ia menunduk dan menggigit bibirnya sambil menangis.
Aku diam, namun menaruh kebencian pada Saroh. Kemudian aku beranjak dan meninggalkan Maisaroh di sana. Aku tidak menyentuh sedikit pun makanan yang ia bawa. Aku kembali dalam sel dan duduk sambil menopang kedua kakiku. Pikiranku sangat kacau.
###
“Akui saja perbuatanmu itu, Ji,” kata ibu saat menjengukku. Iamenatapku sangat dalam mencoba memasuki relung hatiku dan berusaha untuk menemukan kejujuranku.
“Aji tidak melakukannya, Bu. Aji berani bersumpah dan ini hanya akal-akalan Maisaroh saja. Dia ngebet mau nikah sama Aji,” kataku dengan sungguh-sungguh. Aku tidak mungkin berbohong pada ibu. Aku takut kualat.
“Lantas mengapa ia bersikeras mengatakan kalau kamu yang memperkosanya?” kata ibu seraya menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Aku tahu hati ibu sangat tercabik-cabik karena masalah ini.