Suasana pagi tidak selalu menyenangkan. Matahari juga tidak selalu bersinar terang. Seperti pagi ini, matahari tampak redup. Ditutup awan-awan kelabu dengan hembusan angin yang spoy. Asab dari bakaran sampah mengingatkanku pada masa kecil dulu. Rasanya aku ingin kembali ke masa lalu. Tapi, sudahlah… semua sudah berjalan seiring waktu yang ku jalani.
Ku lihat ibu lebih banyak diam pagi ini. Entahlah, apa karena malam tadi atau ada pikiran lain di benak ibu. Ibu memasak di dapur dengan tidak mengeluarkan suara. Ia memotong sayuran dan daging di atas meja. Enggan aku duduk di kursi makan dan meneguk secangkir teh hangat buatan ibu. Aku tidak menyuruh ibu untuk bercerita, tapi pagi itu ibu bercerita panjang lebar.
“Ayu di mana, Bu?” tanyaku basa-basi sambil mencomot gorengan di atas meja.
“Ayu sudah pergi ke kampus dijemput temannya,” jawab ibu dengan suara masih parau.
“Ibu masih marah?” tanyaku lagi. Ibu hanya diam. “Maafkan Aji, Bu. Aji tidak bermaksud untuk menyakiti hati ibu,” kataku sendu.
“Sudahlah…. itu memang salah ibu. Ibu tidak ingin melihat kalian terguncang karena perbuatan kakek mu. Kalian hanya tahu kalau kakek kalian seorang yang alim. Rajin sholat dan berjikir.” Ibu menarik nafas sejenak. Lalu, memasukkan sayuran ke dalam kuali. Ibu menerawang lagi dengan pandangan ke depan. Ia mengamati perkebunan tembakau yang begitu subur. Daun-baun yang hijau dan lebar serta aroma yang khas di hidungnya.
“Laura adalah teman ibu. Kami besar sama-sama dan remaja sama-sama. Laura baik orangnya. Dia tidak mau disebut gadis Belanda.” Cerita ibu. Aku tertegun mendengarnya. Ada cerita lain tentang ibu.
Saman ternyata orangnya pemarah. Surti selalu saja kena imbasnya. Walau Surti sudah mengalah dan mengaku salah, tapi tetap saja salah di mata Saman. Ibuku anak pertama dari tiga bersaudara dan pamanku anak paling terakhir. Kakek memang masih menaruh dendam ke nenekku.
Saat kejadian yang menimpa Laura, ibu berada di sana dan melihat kebejatan Saman menyetubuhi Laura. Ibu menggigit bibirnya ketakutan dan menangis.Ibu menyaksikan jeritan kesakitan Laura yang pedih. Ibu tidak sanggu melihatnya. Saat itu usia ibu baru lima belas tahun.
Setelah Saman pergi ibu menghampiri Laura yang terkapar di tanah. Ibu sangat iba melihat Laura yang berdarah di selangkangannya. Laura berjalan tertatih sambil menangis terseduh. Darah mengalir membasahi kakinya.
Laura mengadu ke Melur dan perempuan itu berusaha menutupi aib anak gadisnya. Ia mengatakan agar kejadian itu dilupakan dan jangan ada yang menceritakannya. Karena Saman, laki-laki yang sangat dicintainya.
“Ibu kasihan melihat Laura,” kata ibu sendu.
“Bagaimana nasib Laura sekarang, Bu? Dia berada dimana?”
Ibu terdiam dan berusaha mengingat cerita lama itu. Seiring waktu berjalan, dan kejadian itu dilupakan, Laura mencintai seorang laki-laki pribumi. Lanang namanya. Saat itu gairah hidupnya kembali lagi.Ia sangat bahagia ketika Lanang mengatakan cintanya dan mereka berencana ingin menikah.
Masa pacaran begitu sangat indah mereka rasakan. Namun, suatu hari Laura kembali murung. Wajahnya sangat sedih. Ibu tidak tahu kenapa. Laura menjadi pendiam dan termenung.Laura ingin dijodohkan dengan Frederick, seorang laki-laki Belanda. Mister Buch tidak setuju kalau Laura bertunangan dengan laki-laki pribumi yang rendahan. Laura pun mengadu ke Melur kalau ia tidak mencintai Frederick dan sangat mencintai Lanang.
Melur menyuruh Laura untuk melarikan diri bersama Lanang. Namun sebelum pergi, Laura ingin menceritakan kepedihannya selama ini. Dengan bercucuran air mata ia mengatakan kalau ia telah diperkosa ayahnya.