CERITA BAPAK TENTANG MASA LALU

Embart nugroho
Chapter #16

16. AKU SANGAT MENCINTAI SALVINIA

Awal tahun 1998.

Kericuhan mulai merayap di beberapa daerah. Asap mengepul dari kopi di atas meja. Aromanya membuat pikiranku terasa tenang. Belum lagi gorengan di atas meja yang disiapkan bibiku, menambah selera makanku. Aku mengambil mug berisi kopi racikan keluarga. Aku meneguknya sedikit demi sedikit… Mmm… luar biasa nikmatnya. Lalu, aku mencomot gorengan dan ku masukan ke mulut. Aku mengunyahnya dengan nikmat.

Paman menghisap rokok dan mengepulkannya, sembari meneguk kopi di atas meja. Ia mengunya gorengan yang disediakan bibik. Kami berdua menikmati sarapan yang ala kadarnya. Sementara Salvinia membantu bibi memasak di dapur.

“Keadaan ekonomi kita semakin kacau, Dji," kata paman. "Tidak di Medan dan Jakarta tapi di seluruh negeri ini. Entahlah apa yang akan terjadi nanti."

Memang beberapa hari ini terjadi keributan di masyarakat yang menggunjingkan kenaikan harga bahan bakan dan bahan makanan pokok. Aku hanya terdiam mendengarkan paman berkata-kata. Aku tidak tahu harus berbuat apa.

"Bagaimana ceritanya kamu bisa melarikan diri? Melarikan anak orang lagi?” tanya paman yang sesekali menoleh ke arah ku.

“Aku sangat mencintai Salvinia, Paman. Tapi orang tuanya melarangku untuk dekat dengan anaknya. Begitu juga dengan Salvinia. Dia tidak mau dijodohkan dengan laki-laki yang tidak ia cintai.”

Paman menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskan asapnya. Asap pun mengepul. Ia sepertinya berpikir, bagaimana hal itu bisa terjadi.

“Kita dalam masalah besar,” katanya. Ini pasti masalah yang menentukan masa depanku.

“Kenapa, Paman?” tanyaku penasaran. Paman diam sesaat dan menikmati rokoknya. Sepertinya rokok paman bukan berasal dari perkebunan tembakau.

“Mereka pasti mencarimu, Ji,” ucapnya kemudian “Dan itu akan menimbulkan masalah besar di keluarga kita.” Paman termenung. Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ku nikmati lagi kopi buatan bibikku. Terasa nikmat sekali.

“Tapi Salvinia tidak tinggal di rumahnya, Paman. Salvinia indekost di dekat kampusnya,” kataku lagi.

“Lantas kau bebas begitu saja? Ini hari sabtu, Ji. Biasanya anak indekost sekali pun akan pulang ke rumah kalau akhir minggu. Mereka pasti mencari Salvinia mengapa tidak pulang ke rumah.”

Kata-kata itu membuatku terdiam dan berpikir panjang. Sekali pun mereka mencari Salvinia dan bertanya ke ibu, aku sudah siap menanggungnya. Aku akan mengatakan yang sebenarnya. Aku mulai bingung.

“Bagaimana ini, Paman?” tanyaku.

Lama paman terpaku dan beberapa kali menghisap rokoknya lalu menghembuskannya ke atas. Asap membuat kepulan abstrak. Kemudian menyebar ke luar.

“Kita akan menghadapinya bersama-sama,” kata paman lagi.

Lihat selengkapnya