Saat aku mengembara, seorang perempuan baya bersama gadis berumur dua puluh tahun, menuntut keadilan. Ia melaporkan seorang bernama Baskoro ke kantor polisi atas tuduhan pengeroyokan dan penganiayaan.
Baskoro pun digiring paksa oleh polisi. Ia berkelit tidak melakukan apa-apa, tapi orang-orang suruhannya yang lebih dulu tertangkap sudah mengakuinya kalau mereka disuruh oleh Baskoro. Dengan iming-iming uang sepuluh juta rupiah untuk menghabisiku.
Seorang gadis yang selalu menggandeng ibu nya terus menuduh laki-laki bernama Baskoro dengan sebutan bejat! Tidak berperikemanusiaan.
Ketegangan di kantor pengadilan pun sangat ricuh dengan pembelaan yang berbelit-belit. Perempuan itu menuntut keadilan. Di mana letak keadilan kalau negara ini bisa disuap.
Keputusan majelis hakim akhirnya memenjarakan Baskoro selama lima tahun. Dan perempuan itu meminta denda ganti rugi untuk biaya perobatan.
###
Aku masih tidak tahu berada di mana. Aku melihat masa muda ayahku. Ia duduk terpaku di kamar dengan wajah sedikit tertekan. Umur ayah masih Sembilan belas saat itu. Ia masih terlalu muda menurutku. Ia beranjak dari kamar dan menemui laki-laki baya di ruang tamu. Laki-laki itu adalah Abdullah, kakekku.
“Aku mencintai Marhaeni, Yah. Tidak ada yang bisa memisahkan aku dengannya,” kata Ayahku. Galih.
“Kau tau dia siapa? Dia anak seorang penghianat. Mau diletak di mana wajah ayah, Galih? Apa kata warga setempat? Abdullah yang terpandang bermenantukan anak seorang penghianat!”
“Tapi, Yah…”
“Sudah! Kau putuskan dia sekarang juga atau ayah tidak menganggapmu sebagai anak ayah!” sergah Abdullah dengan suara yang berapi-api.
Galih terdiam dengan pikiran yang kacau. Ia tidak bisa melupakan Marhaeni dan ia nekat kabur dari rumah. Galih mengajak Marhaeni kabur dari rumah dan mereka dinikahkan saudara Abdullah di rumahnya. Abdullah marah besar dan tidak merestui pernikahan Galih.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan kembali pergi menuju jalan cahaya.
###
Suasana rumah sakit memang selalu sama. Bau pembersih lantai dan obat-obatan sudah menjadi ciri khas rumah sakit. Aku membuka mataku perlahan dan menggerakan jemari tanganku. Aku tidak tahu berada di mana. Sebuah kamar dengan perlengkapan medis di sana. Gorden putih melambai-lambai tertiup angin. Aku melihat seorang gadis remaja di sana. Gadis cantik memakai hijab masa kini. Pandanganku masih buram. Siapa dia? Pikirku.
“Mas Aji..?” seru gadis itu. Aku mengerutkan kening. Aji? Pikirku.