Tragedi 1998 yang menegangkan.
Ayu sangat ketakutan ketika beberpa aparat dan para unjukrasa baku hantam di sekitar kampur. Asap tebal dari ban yang mereka bakar memadati jalanan. Situasi sangat tegang dan Ayu sangat ketakutan. Ia berpisah dari Salvinia. Beberapa orang temannya membawa Salvini entah kemana. Ayu hanya mendengar berita tewasnya Salvini karena kerusuhan itu.
Aku terpaku di kamar dan mengenang semua kenangan manis bersama Salvinia. Tidak ada yang bisa menggantikan hati gadis itu di hatiku dan aku tidak bisa melupakan Salvinia. Dia gadis lembut yang sangat baik padaku. Kenangan itu bermain-main di mataku. Wajah itu, wajah teduh bidadari surga yang diciptakan Allah padaku. Tapi kami berpisah di dunia fanah ini sebelum sempat membina rumah tangga.
“Mas Aji, kita berangkat sekarang?” tanya Ayu membuyarkan lamunan-lamunanku. Aku terkesiap dan menoleh ke Ayu.
“Ya,” jawabku singkat.
Kami mengendarai mobil milik paman. Selama dalam perjalanan, mataku berkabut. Air bening itu menutupi selaput mataku dan aku hanya diam. Sesekali isakku terdengar dan aku menutup mulutku dengan tangan. Aku tak mau terlihat cengeng di depan mereka.
Aku tidak sanggup masuk ke pemakaman Salvinia. Hatiku terlalu pedih saat ditingalkan begitu saja. Aku masih tidak percaya dengan kematian Salvinia. Aku berusaha untuk tegar dan menerima kenyataan pahit itu.
Daun-daun kamboja sudah berguran dan bunganya rebah di pusara Salvinia. Aku akan meluapkan semua air mataku kepadanya. Akan kuceritakan semua tentang betapa cintanya aku kepadanya. Betapa ia sangat berarti bagiku. Betapa aku sangat menyayanginya.