“Gua iri sama lu, tahu gak?”
“Hah?”
“Lu itu keliatan,” pria berambut kuncir itu melambaikan tangannya di depan muka sendiri dengan antusias berlebih.
“Tenang,” ucapku sekaligus menyelesaikan kalimatnya. “Muka gua tenang, walaupun mungkin di dalam, gua itu berantakan.”
Dia mengacungkan telunjuknya seakan ingin mendorong jatuh suatu bocah tidak kasat mata. Wajahnya terlihat cukup intens untuk meneriakkan “Mampus lu!”. Ia ragu dia mendengar bagian terakhir kata-katanya.
“Itu! Lu itu bisa keliatan tenang banget.”
Ia tidak tahu punya teman yang mukanya tenang bisa membuat seseorang terlihat begitu frustasi.
“Lah, muka gua mungkin tenang. Tapi di dalam,” katanya sambil membuat gerakan mengusap dengan tangan di depan dada. “Di dalam ada magma lagi mendidih.”
Sekali lagi dia melambaikan telunjuknya dengan gemetar, mengancam bocah hipotetis yang tidak ada di lokasi. Layaknya orang yang tidak tahu harus berkata apa, ia hanya tertawa. Dan, seperti sembilan puluh sembilan persen pembicaraan di muka bumi, pembicaraan itu juga tidak pernah mencapai kesimpulan apapun.