Cerita-Cerita Tanpa Kesimpulan

Maximilian Surjadi
Chapter #2

II. Bom TOEFL

Bang. Maaf ganggu, nih. Tapi, gua mau minta tolong nih. Hehehe. Blablabla, gua perlu ikut tes TOEFL online buat S2, blablabla. Bisa bantu gua ngerjain, gak? Nanti gua kirim link, minimal buat lolos perlu skor 475. Plis banget bang. Pliss.

Ia membaca chat tersebut layaknya orang normal. Mengabaikan setiap detail kecil dan berkonsentrasi pada semua implikasi mengerikan yang tidak disampaikan. Memutuskan mau lanjut tidur atau bangun saja belum, sudah ada orang yang memaksa masuk ke dalam rutinitasnya. 

Ia mengenal orang yang mengirimkan pesan tersebut. Setidaknya cukup dekat untuk mengenal wajahnya dan mengetahui kembali namanya setelah dua menit berlalu. Bukan karena ia ingat, tapi karena ada kenalan lain yang menyapa orang tersebut dan membuatnya berpikir, oh iya nama dia itu

Berkaitan dengan betapa dekatnya hubungan mereka. Ia bertanya-tanya, atlet hebat macam apa orang ini, sampai-sampai dia bisa mengambil keputusan seperti ini. Pikirkan baik-baik, banyaknya halangan logis yang berbaris dan dia dalam sekali gerak langsung melompati semuanya. 

Sejujurnya, mereka tidak mengenal satu sama lain. Bagaimana dia bisa yakin ia memiliki kapabilitas untuk membantu? Walaupun memang, ia cukup hebat dalam bahasa Inggris, tidak mungkin orang ini dapat mengetahuinya. Dan, orang ini juga mengatakan dia akan membiarkan dirinya mengerjakan tes TOEFL miliknya, seperti joki. Bagaimana dia bisa tahu, bahwa ia akan mengerjakannya, bukan mengacaukan semuanya. 

Pada saat itulah ia mencapai keputusan. Tentu saja. Untuk apa ia memusingkan bagaimana orang ini mencapai kesimpulan. Ia tidak memiliki tanggung jawab apapun dalam hal ini. Ia tidak perlu memusingkan apakah orang ini akan berhasil atau tidak. Ia sudah cukup dewasa dan getir untuk mengetahui bahwa tindakan baik, dalam sebagian besar kasus, tidak akan menghasilkan apapun. 

Sayangnya, hal itu tidak mengubah fakta bahwa ia memang punya hati berlapis emas. Emasnya mungkin tidak 24 karat dan sudah ada sepuhan yang terkikis di sana-sini sehingga hati hitamnya terkadang dapat terlihat. Faktanya tetap sama, masih ada cukup banyak massa emas di hatinya. Bukannya menertawakan orang itu (Mau S2, tapi gak bisa bahasa Inggris. Kalah sama ponakan gua masa. Malu-maluin orang aja lu, nyet) ataupun memanfaatkan kesempatan ini untuk membuat kekacauan (jadi joki, kerjain tes dia, secara sengaja jawab salah setiap pertanyaan, mampus lu), ia memutuskan untuk menawarkan ‘bimbingannya’. Ia akan membantu orang itu, tapi ia tidak akan menjadi orang yang mengerjakan tesnya. Mungkin ibarat, ia masih rela menjadi sukarelawan di menara operator, tapi ia tidak akan menjadi pilot yang menekan tombol dan menjatuhkan bom entah di atas kepala siapa. Bomnya jatuh tepat di tengah panti asuhan? Ya, lain kali jangan tunjuk orang asal-asalan buat jadi operator.

Sedikit bodoh, sedikit tidak bermoral, tapi ia berniat menikmati seluruh proses kekonyolan ini. Dengan senyum di wajah, ia bangkit dan membalas pesan orang tersebut. Ia tidak akan mengisi tes orang tersebut, itu adalah tesnya dan dia seharusnya mengisinya sendiri, tapi ia akan membantu.

Sent.

Tidak sampai dua menit, telepon genggamnya sudah berbunyi lagi. Setidaknya dia tidak bertingkah seperti perempuan malu-malu tidak jelas yang butuh timer tiga puluh menit kalau membalas pesan.

Lihat selengkapnya