“Bosen, nih. Cerita hantu dong.”
Ia mengerutkan wajahnya dan melirik jam di layar komputernya. Sudah hampir jam dua belas malam. Ia tidak akan mengingkari bila cerita hantu selalu menjadi topik pembicaraan seru tiada akhir di negeri ini dan pada nyatanya, ia cukup yakin, di manapun. Tapi, ada bagian dari dirinya yang juga mengatakan, rasanya agak konyol mengetahui hasil akhirnya. Semua orang akan ketakutan sendiri, lanjut mengobrol untuk menghapus ingatan akan cerita-cerita hantu yang sudah didengar, tidak akan ada yang tidur, dan pola tidur mereka akan berantakan untuk beberapa hari.
“Aduh, nyet. Udah malem gini, loh. Mesti banget cerita hantu?” katanya ke arah mikrofon.
Untuk sesaat, ia curiga tidak akan ada dukungan dalam konferensi virtual tersebut. Untungnya, bukan ia satu-satunya orang yang memiliki kecemasan tersebut.
Terdengar suara tenor salah satu temannya, “Iya loh, udah mau jam dua belas ini.”
“Aduh, tapi bosen nih. Gua yang mulai duluan, deh. Ini gua diceritain sama teman gua sih. Jadi mereka ini cowok-cowok mau pergi ke Puncak. Waktu itu lagi piala dunia gitu.”
Ini adalah waktu ketika diplomasi halus dikalahkan oleh orang keras kepala yang tidak dapat membaca atmosfer kolektif. Di atas kekalahan demokrasi itu, festival cerita hantu malam ini pun dimulai.
Ia dapat langsung undur diri pada saat itu juga, entah langsung menutup panggilan atau pamit dan menepis setiap tuduhan terhadap keberaniannya. Keduanya adalah pilihan valid. Ia dapat tidur tenang sesuai jadwal, tanpa harus mengurusi kenangan baru akan cerita hantu. Cerita hantu itu ibarat mayat yang ingin ia tenggelamkan di dalam danau memori. Ia akan mengikatkan batu berat pada kaki mayat itu dan membiarkannya terhanyut dalam-dalam.
Tapi, pada suatu hari nanti, akan ada getaran seismik dalam otaknya, salah satu kejadian umum yang sama alaminya dengan hujan ataupun angin. Danau memori itu pun akan bergemuruh tidak nyaman dan mengaduk seluruh limbah di dalamnya. Bila ia sial, mayat cerita hantu akan menyembulkan kepalanya di saat-saat tidak terduga. Dan, ia terjebak di sana, terlalu jijik untuk menyentuh mayat bengkak itu. Ia hanya dapat menikmati pemandangan busuk sampai danau memori memutuskan untuk menelannya lagi.
Ia hanya diam dan mendengarkan, tidak berkontribusi banyak dalam pembicaraan. Temannya bercerita mengenai hantu di vila Puncak, memanggil orang dengan nama mereka dari tempat-tempat aneh. Satu cerita selesai dan cerita lain segera menggantikan. Kali ini mengenai seorang pecinta alam yang mendaki gunung dan hilang selama satu minggu karena makhluk halus di gunung itu tidak menyukainya. Ia terus mendengarkan dan ia dapat mendengar danau memori bertanya, ada berapa banyak mayat yang ingin kau tenggelamkan kali ini? Entahlah, baru dua sejauh ini.
“Eh, lu sendiri udah ada pengalaman pribadi ngeliat, gak?”
Kecuali ada yang menyebut namanya, ia hanya akan mendengarkan.