Mungkin ini saatnya untuk memperbaiki sesuatu, pikirnya pada diri sendiri. Bukan, bukan kepribadian atau cara kerja pikirannya yang tidak terkendali; Itu adalah satu hal yang akan memakan banyak waktu dan uang untuk diperbaiki. Ia tengah berpikir tentang pendingin ruangan di kamar kosnya.
Mungkin sudah setengah tahun berlalu sejak mesin tua itu mulai menangis. Awalnya hanya isak yang hampir tidak terdengar. Ia hanya perlu memberikan selembar tissue dan dia tidak akan membuat keributan. Tapi, lama-lama tangisnya menjadi semakin heboh. Ia biasa menaruh cangkir plastik bekas untuk menampung air matanya dan pendingin ruangan itu mampu menangis dua cangkir penuh setiap harinya.
“Bajingan, aku sendiri pengangguran, tapi tidak pernah aku menangis sampai bisa mengisi gelas,” celetuk benaknya.
“Siapa tahu itu AC udah kerja paksa non-stop dari zaman Pak Harto. Tahu sendiri yang ngurus kos kayak gimana. Selama masih bisa jalan, gak bakal diganti. Selama masalahnya bisa terhenti sementara dengan bayar tukang servis termurah, ngapain pusing-pusing mikir solusi lebih baik.”
“Anjing juga ya, berarti semua ini salah tuh orang kikir.”
“Kagak lah, semua ini salah lu sendiri. Kenapa gak pindah kos, cari pemilik kos yang orangnya lebih simpatik.”
“Anying.”
Sudah jelas bahwa mendengarkan mesin pendingin ini tersedu-sedu setiap malam sama sekali tidak membantu gemuruh pikirannya. Jadi, melawan setiap opini pesimis dalam dirinya, ia berbicara dengan si pengurus kos.
“Oh iya, nanti tukang AC-nya dipanggilin. Itu taruh ember dulu aja di bawahnya!”
Di mulut, ia hanya menjawab “iya oke”, tapi di hati, ia berkata, ya iyalah udah gua tatakin itu bocornya, lu pikir gua dodol. Kamar gua berubah jadi Titanic, gua diemin aja? Mungkin gua diemin tenggelam aja ya, siapa tahu bisa ada band orkestra yang bakal main.
Interaksi tersebut berlalu begitu saja dan betapa terkejutnya dirinya ketika tiba-tiba si pengurus kos mengirimkan pesan lewat chat. Baru satu minggu berlalu sejak ia meminta dipanggilkan tukang AC dan tukang tersebut sudah datang. Ia kira si pengurus kos akan terlupa dan baru bertindak dua minggu kemudian. Tanpa banyak pertimbangan, ia membalas:
Oh, titip kamar ya om kalau begitu. Saya lagi di luar.
Tentu saja ia ada di luar. Orang waras mana yang mau tinggal di kamar berantakan dengan pendingin udara yang menangis dari setiap lubang yang ada, baik dalam keadaan mati atau nyala? Fakta bahwa ia memberikan sifat manusia pada mesin tersebut saja sudah jadi tanda-tanda bahwa AC rusak tersebut sudah mendorongnya gila.
Ia biasa menghabiskan hari-hari penganggurannya di kafe. Terutama kafe yang pengurusnya masih terkesan peduli. Ada kafe yang atapnya sudah bocor, koneksi WiFi sering bermasalah, pelayannya hanya di sana karena dia butuh material uang dan tidak lebih dari itu. Persetan tempat seperti itu. Bila ia butuh internet lambat dan atap bocor, ia lebih baik berdiam di kamarnya sendiri daripada merogoh kocek untuk dibuat stres.
Ia senang menghabiskan harinya di kafe yang bersih dan rapi. Dengan dekorasi yang diletakkan karena pemiliknya tahu itu adalah ruang miliknya sendiri dan dia ingin ruang tersebut terlihat indah, nyaman, dan layak untuk manusia. Kafe seperti itu (apalagi kalau juga memiliki kopi dengan harga terjangkau) merupakan hal yang langka dan ia tidak dapat mengatakan tidak.
Pemikiran tersebut otomatis mengingatkannya pada kamarnya sendiri. Kapal karam yang tengah dimasuki oleh tukang reparasi. Mungkin tidak ada mesin yang terbakar tidak terkendali ataupun pipa rusak yang mengeluarkan uap panas di kamarnya, tapi ruang tersebut masih dipenuhi dengan serpihan benak berantakan. Plastik-plastik bekas belanjaan di lantai, debu dan kotoran yang ditendang begitu saja ke pojok ruangan, belanjaan dan piring kotor yang sudah seminggu belum dicuci.
Untuk sesaat, ia berpikir, persetan semuanya. Out of sight, out of mind. Kalau ia tidak melihatnya, ia tidak perlu memikirkan seluruh kekacauan yang mungkin terjadi. Tapi, pemikiran praktis mulai menyerangnya. Bagaimana kalau mereka mencuri sesuatu di kamarnya? Atau, bagaimana kalau mereka tersandung salah satu sampah dan membuat kamarnya lebih hancur lagi? Atau, yang lebih buruk, mereka tidak benar-benar melakukan pekerjaan mereka dan hanya meninggalkan dirinya dengan pendingin yang masih histeris serta tagihan reparasi.
Dengan rasa enggan, ia meninggalkan ruang yang begitu teratur dan berjalan kembali ke kekacauan kamar kosnya. Di luar, sudah ada si om tua pengurus kos.
“Itu tukang AC lagi di atas, ya. Orangnya dari tempat yang biasa, tapi beda. Kamu liat aja ke atas.”
“Oh, ya oke, makasih om,” balasnya tanpa memperlambat langkah ataupun mencoba mencerna kata-kata tersebut.
Ia naik ke lantai dua. Pintu kamarnya dalam keadaan terbuka. Di dalam, ada dua orang tukang reparasi dan si pemuda pesuruh pengurus kos. Tiga orang pemadam kebakaran di tengah bara kekacauan kamarnya.