Cerita-Cerita Tanpa Kesimpulan

Maximilian Surjadi
Chapter #9

Ritual Tidur

Ada satu hal yang baru-baru ini makin ia sadari. Ia memiliki ritual tidur yang tidak alami. Setiap malam, ia akan membiarkan komputernya menyala selagi mesin itu memainkan suatu audio. 

Pada awalnya, ia mendengarkan hal-hal yang relatif normal untuk tidur: lagu-lagu, seperti satu atau dua album dari Metallica; suara-suara dari alam, seperti rintik hujan, kicau burung di hutan, deru mesin hidrolik uap di bengkel industrial. Hal-hal kecil yang dapat ia dengarkan dengan santai. Masukan audio yang konstan, monoton, dan terus-menerus, membawa kepastian yang sama mutlaknya dengan kehidupan sendiri. 

Mungkin itulah yang membuat orang-orang dewasa menyukai suara monoton sebagai pengganti dongeng tidur. Mungkin, jauh di dalam, jauh di luar nalar mereka, itu mengingatkan mereka akan kepastian semesta. Bahwa semua akan terus berjalan, tidak peduli apa yang kau lakukan. Tidak ada gunanya berusaha, tidak ada gunanya memusingkan pekerjaan, atau apa yang harus disiapkan untuk sarapan. Tidak peduli jalur karir yang ingin diambil, bintang-bintang di angkasa tak berujung tetap mati pada waktunya‒cangkang fisik mereka rubuh di atas gemuruh inti yang melecut murka, menciptakan kobaran yang begitu menyeluruh, memicu setiap gas yang ada di atas badan cemerlangnya, dan dalam kerlip terakhir, kematian bintang. Fenomena yang begitu jauh secara fisik, namun dapat dipahami dalam konsep alamiahnya; Kepastian monoton putaran gerigi semesta yang mengalihkan pikiran orang-orang dari kecemasan remeh mereka, sehingga akhirnya mereka dapat tidur dalam kebodohan insignifikan setiap manusia. 

Mungkin.

Tapi, akhir-akhir ini, ia menemukan bahwa suara kepastian semesta tidak dapat menenangkan benaknya. Ia mencoba tidur sambil mendengarkan gemericik sungai mengalir. Mata terpejam, tiada usaha untuk memusingkan apapun. Tapi, benak bajingannya malah bertingkah.

“Hei, ingat waktu itu, awal-awal masa kuliah, ketika kau harus mengenal sekitar seratus wajah dan nama baru? Seseorang menyapa dirimu di jalan. Kau tidak yakin siapa dia, tapi kau menyapa balik, karena mungkin saja dia salah satu teman kuliah yang tidak kau ingat. Tapi, siapa sangka, ternyata dia adalah orang yang tidak kau kenal. Lebih dari itu, dia tengah menyapa orang di belakangmu.” 

Lihat selengkapnya