Aku berusaha membuka mataku yang sangat berat. Kupandang tembok putih di hadapanku. Kulihat tanganku yang tertancap infus. Aku kenapa di rumah sakit. Terakhir kali ku ingat, aku memberikan laporan ke Vano tapi belum selesai dikoreksi.
Aku seketika terbangun, teringat akan Laporan yang tertinggal di tempat Vano. Pusing langsung menyerang kepalaku. Dunia serasa berputar putar. Aku meringis menahan sakit di kepalaku.
"Ahh '' Ringisku sambil memegang kepala.
"An, loe udah sadar. '' Aku terkejut kala kulihat Vano bangun dari sofa di kamar inap ini.
"Pak, kenapa saya bisa ada di sini? terus Bapak juga ngapain di sini?Laporan saya gimana pak?ada yang perlu di revisi gak? ''Tanya ku bertubi-tubi.
"An, loe itu sakit. Bisa gak seh gak mikirin laporan mulu. Peduliin kesehatan loe. Dan gue di sini nemenin loe, karena Jasmine baru bisa kesini setelah dia pulang kantor.'' Kata Vano menjawab semua pertanyaanku.
"Bapak yang bawa saya ke sini". Kataku bingung.
"Bukan, "jawab Vano dengan ketus. "Ya jelas gue An, yang sedari tadi di sini juga cuman gue, dan elo masih nanya siapa yang bawa elo ke sini.'' Kata Vano menahan kesal.
"Maaf Pak, Bapak galak amat. Ya kirain siapa gitu pak.''
"Loe berharap siapa? Orlando? heh.'' Tampang Vano makin gak enak buat di lihat.
"Bapak kenapa seh kok jadi marah marah gini, saya sehat di maki maki, saya sakit malah diomelin. Salah saya apa pak?'' Kataku menahan emosi. Tau-tau bisa darah tinggi kalau terus-terusan di dekat Vano.
Tanpa kata, Vano langsung memeluk ku dengan erat. Aku sangat terkejut, aku melihat Vano menghela nafas dengan kasar. Aku juga tidak membalas pelukan Vano. Aku masih tidak mengerti suasana hati Vano dan apa arti pelukan ini.
"Loe bikin gue kawatir An, loe pingsan di depan mata gue. Demam tinggi. Gue kayak orang paling bodoh gak bisa berbuat apa-apa. Gue masih bingung apa yang terjadi. Setelah sekian menit akhirnya gue sadar. Gue minta tolong Shera siapin mobil dan bawa loe kesini.'' Vano melepas pelukannya, menggenggam tanganku, seketika hati ku terasa menghangat dengan perlakuan Vano.
"Gue ngerasa gue pimpinan paling kejam di sini, gue yang nyebapin elo sakit. Gue yang minta laporan sialan itu selesai dalam waktu singkat.''
"Pak, bapak tidak perlu berbicara seperti itu. Laporan itu kewajiban saya pak, saya saja yang tidak bisa memanage waktu dengan baik. Saya melewatkan makan saya, padahal seharusnya itu bisa di lakukan sembari saya bekerja. Bapak tidak perlu merasa bersalah, saya sangat bersyukur, bapak peduli sama saya. Saya seorang perantauan Pak, tidak ada sanak saudara di sini. Jadi ada yang peduli dengan saya itu sudah anugerah buat saya."Kataku mulai berkaca kaca. Jujur aku terharu dengan sikap Vano, karena biasanya, dia selalu bersikap jahil dan menyebalkan. Hari ini dia bersikap sangattt manis. layak nya sikap seoarang kekasih. Duh lama kelaman saya bisa baper.
"Maafin saya ya An.''
"Bapak tidak perlu minta maaf".
"Loe makan dulu An, ini ada makanan dari rumah sakit, kalau loe gak mau, gue beliin di luar. Loe mau makan apa?''
"Saya lagi gak pengen makan pak. Perut saya mual.''
"Loe harus makan An, itu akibat asam lambung loe tinggi, makanya mual. Kalo loe gak mau makan, asam lambung loe bisa tambah akut. Loe gak sayang sama diri loe.''
Akhirnya aku pun mengalah. Dari pada cari masalah dengan Bapak Vano yang tak pernah mau di bantah.
"Gue suapin ya An.''
"Saya bisa makan sendiri pak.'' Kuambil piring dan sendok dari tangan Vano. Aku tidak terbiasa disuapi oleh seorang pria tanpa hubungan apapun dengannya.
"An, sorry tadi gue hubungin Reihan, suapaya kabarin jasmine kalo loe ada disini, habis gue gak ngerti mesti hubungin sapa lagi."
"Tidak apa apa pak, terimakasih banyak. Maaf kalo Andra ngrepotin bapak.''
"Ya sudah buruan makan. Jangan diliatin mulu piring nya.''
"Bapak sudah makan?'' Kataku balik bertanya.
"Ntar nunggu jasmine dateng, biar ada yg nemenin loe.''
"Saya udah biasa sendirian Pak, gak apa apa di tinggal aja. Sudah saat nya makan malam pak jangan sampai bapak sakit. Besok ada meeting penting. Oh iya gimana laporan yang saya buat pak, apa perlu saya revisi.''
''Loe mulai perhatian sama gue An, ciee.'' Goda Vano kepada ku.
''Eh Bapak salah mengartikan maksud saya.'' Jawabku tersipu malu.
"Loe abisin dulu makannya, ntar ngobrol lagi. Gue duduk di sofa ya, mau ngecek email sebentar. Kalo loe butuh sesuatu panggil gue.''
Vano beranjak menuju sofa di pojokan. Ku perhatikan setiap gerak gerik nya. Dia mulai serius dengan email email di hp nya. Kutepis semua rasa yang ada di hatiku. Aku tidak mau terjatuh dalam lubang kepalsuannya. Vano hanya menganggapku sebagai karyawannya. Semua kebaikannya ini hanya untuk menepis rasa bersalahnya karena sudah memberi pekerjaan dengan waktu yang singkat. Aku melanjutkan makan malamku dengan susah payah. Setelah selesai, aku meletakkan piring ke atas nakas.
Tiba tiba aku menjatuhkan gelas yang berisi air.
Prang, aku tersentak. Vano langsung berlari ke arahku.
"An, loe gak apa-apa?loe mau minum?kok gak manggil gue An.''
"Maaf, tadi Bapak sibuk, saya gak mau ngrepotin Bapak.''
"An, kenapa seh loe selalu berpikiran seperti itu. Kalo gue merasa repot, gue gak mungkin masih di sini. Nemenin loe. Jadi tolong hilangkan pikiran itu."
"Iya pak.''
''Ini minumnya. '' Vano menyerahkan botol minum plastik setelah membuka tutup nya. ''Ini obatnya diminum sekalian terus istirahat. Gue beresin pecahan gelas ini dulu."
"Pak, makasih banyak, udah berbuat banyak hal buat saya hari ini."sambil ku tersenyum tulus.
Vano menganggukkan kepala nya sambil tersenyum. Dia dengan gesit nya membersihkan pecahan gelas. Aku tertunduk malu, pasalnya dia berstatus bos ku. Setelah membersihkan pecahan gelas, Vano meninggalkan ku sendirian untuk membuang pecahan gelas ke tong sampah di area luar.
Tiba tiba pintu ruang inap di buka dari luar, nampak seorang perempuan cantik dan laki laki tampan yang saling bergandengan. Setelah melihatku, perempuan itu langsung berlari memelukku.