2020, angka yang indah namun diisi wabah penderitaan. Bukan hanya tentang virus corona yang menyebar dari satu negara ke seluruh dunia, melainkan juga tentang masalah ekonomi dan keadaan manusia yang kian terbelenggu.
Aku Zeeva Anzela, mahasiswa tingkat akhir ilmu komunikasi di kota Bandung, yang tentu saja harus ikut mendapat imbas dari keadaan tahun derita ini. Aku sehat dan memiliki imun yang baik, tapi berkebalikan dengan kehidupan pendidikanku yang mulai memburuk. Dalam pandemi ini, aku harus menunda kelulusanku karena keadaan yang kian membelenggu langkahku.
Aku telah menyusun judul dan topik terbaik dan menarik di jurusanku, tapi ide ini hanya menjadi rantai penghambat untuk kelulusanku. Rasanya sedikit sesak.. Aku kalah cepat oleh orang-orang dengan ide skripsi yang tidak terlalu bagus dan juga bekerja seadanya. Di satu sisi, aku ingin mengerjakan tugas akhir kuliahku dengan sempurna, tapi di sisi lain, terlambatnya kelulusanku menjadi beban besar, baik secara sosial maupun finansial.
Orangtuaku selalu menuntut kelulusan yang cepat, membandingkan dengan anak-anak lainnya yang mereka kenal. Lalu sosial seolah menganggap mahasiswa yang lulus tepat waktu adalah pribadi yang hebat dan cerdas, padahal kenyataan yang kurasakan tidak seperti itu. Finansial juga memaksa untuk menguras isi dompet, padahal keadaan jelas-jelas sedang serba kesulitan dalam ekonomi. Ditambah, tuntutan untuk karantina mandiri di rumah, demi menghindari tertular atau menularkan virus yang sangat populer saat ini. Lantas siapa yang tidak depresi dengan semua keadaan ini?
Aku punya kekasih dan selalu dikunjungi saat waktu luang, tapi bukan berarti depresiku hilang. Aku anak broken home, bukan dari orangtua yang bercerai, tapi dari orangtua yang setiap harinya bertengkar dan meributkan hal yang sama, yakni uang. Karna itulah aku sangat tidak betah berdiam diri di rumah dan terus menyaksikan pertengkaran keluarga. Biasanya, yang kukerjakan adalah melarikan diri dengan pacarku ke luar rumah, atau menyibukkan diri dengan tugas dan pelajaran dari kampus. Tapi kali ini, tidak ada yang bisa kulakukan untuk menghindari keadaan bobrok di rumahku. Lelah telinga ini, hancur hati ini, dan kalut pikiran ini.
Sampai satu waktu, drama pemerintahan menjadi jalan keluar untukku membersihkan pikiran dan hati yang sudah mendung dan berdebu. Tahun ini juga ternyata diwarnai tindakan ketidakadilan putusan pemerintah terhadap rakyat kecil. Aku tertarik dan entah mengapa ingin terjun menyuarakan keadilan, meski aku sendiri notabene-nya adalah mahasiswa pasif dalam urusan politik seperti ini.
Alasannya tidak sesederhana untuk melarikan diri dari rumah saja, melainkan juga karna status ayahku yang merupakan seorang pegawai di sebuah perusahaan pakaian. Aku tentu tidak mau hak-hak ayahku di rampas. Dari awal, keadaan ekonomiku selalu mengambang di tengah kemewahan dan kesengsaraan, jika undang-undang ini berjalan, sudah pasti perekonomian keluargaku akan semakin memburuk dan keadaan keluargaku akan semakin hancur. Tak peduli meski sang pemilik perusahaan adalah ayah dari pacarku, karna status atasan dan bawahan tetaplah berlaku dalam perusahaan.
Maka di sinilah ceritaku, dalam kurun waktu satu minggu demonstrasi tolak omnibuslaw yang kemudian mencipta pengalaman bahagia sekaligus menegangkan dalam kehidupanku di tahun ini.