Sang komandan itu benar-benar mengikutiku kembali menuju tempat evakuasi. Ia juga bahkan membantuku memapah Jefri yang kian lemah karna dikeroyok anak buahnya sendiri.
"Dari lubuk hatiku terdalam, aku minta maaf padamu dan kekasihmu ini." Ucapnya tiba-tiba.
Apa pendengaranku saja, atau dia memang mulai berbicara santai padaku? Khususnya dalam penggunaan bahasa aku-kamu.
"Aku hanya berharap kalian tidak lagi berbuat kasar dan semena-mena. Tidak semua dari kami adalah pembuat kerusuhan."
"Aku mengerti." Jawabnya.
Kami kembali ke tempat evakuasi dengan tangan kosong, namun keadaan yang cukup mengenaskan. Semua mata tertuju ke arah kami, atau lebih tepatnya polisi yang datang bersama kami.
"Apa yang kau lakukan pada mereka?!" Beberapa mahasiswa langsung mencengkram baju polisi itu dan hendak memukulnya.
"Berhenti-berhenti. Dia jaminan kita untuk dapat oksigen dan air mineral." Aku langsung menghalangi mereka dan berdiri di depan polisi itu, berusaha melindunginya.
"Kau ini hanya anak kemarin sore. Tau apa kau tentang penghianat negara sepertinya?!" Seorang mahasiswa membentakku sambil mencoba mendorong tubuh polisi yang berada di belakangku.
"Tunggulah sebentar, jika dia berbohong, aku tidak akan menghalangi kalian lagi." Jefri membantuku menyalamatkan polisi itu, meski ia berbicara dengan lemah.
"Jef sadarlah, kau sudah mengenaskan seperti ini karnanya! Jangan mudah terhasut!" Seru para mahasiswa masih tak percaya
"Kalian bisa tunggu sepuluh menit, jika bantuan dari kami masih belum datang, saya siap dipukuli." Polisi itu akhirnya angkat bicara.
"Anak-anak di sini tidak bisa menunggu selama itu."
Melihat kondisi para korban yang membutuhkan oksigen benar-benar membuatku dilema.
"Ada satu cara." tuturku.
Aku segera melepas ban medis di tanganku dan membasahinya dengan air. Lalu kuhampiri salah satu dari mereka yang terlihat sangat kehabisan nafas.
"Bantu aku mendudukan dia." Pintaku pada siapapun yang bersedia.
Aku lantas mengipas-ngipaskan kain basah di tanganku itu dalam jarak beberapa sentimeter dari hidung mahasiswa yang membutuhkan oksigen.
"Dengar aku, tenanglah, atur nafasmu sebaik mungkin." Pintaku pada korban yang kutangani.
Untungnya ia menurut dan lambat laun nafasnya kian beraturan. Banyak mata menatapku heran.
"Aku PMR di SMA, dan aku terbiasa menangani siswa yang asma." Ucapku
Para medis di sini mulai menggunakan caraku, sampai oksigen bantuan dari polisi datang. Keadaan membaik dan untung saja mahasiswa dan polisi tak saling serang lagi meski aku tetap bisa merasakan aura permusuhan di antara keduanya.
"Kami akan kembali bertugas. Kalian waspadalah selalu." Komandan tadi berbicara sekali lagi sebelum meninggalkan tempat kami.
Keadaan di luar mulai aman dan tenang sekitar pukul 10 malam. Tapi aku masih belum bisa menghubungi Rizky untuk menjemputku.
"Terimakasih banyak. Aku berhutang banyak padamu." Tutur Jefri tiba-tiba
"Jangan begitu, aku yang harusnya berterimakasih karna kau sudah membantuku."
Jefri tersenyum mendengar penuturanku.
"Kau mau pulang? Biar kuantar."
"Aku sedang berusaha menghubungi kekasihku, dia menghilang sejak kerusuhan tadi."