Aku terbangun oleh suara bising dan perlakuan kasar para polisi yang membangunkan mahasiswa. Mereka memberi kami sarapan berupa nasi dengan lauk tahu, tempe, ikan dan telur.
Semua mahasiswa lantas menikmati makanan itu dengan bersemangat dan lahap, termasuk Jefri.
"ini hadiah untukmu." aku memberikan telur dan ikanku pada Jefri.
"Hey, kau harus makan banyak." Pria itu hendak mengembalikannya padaku tapi buru-buru kucegat.
"Kau mau menerima itu, atau kuberi pada orang lain?" aku mengancamnya
"Kenapa?"
"Aku ga suka ikan dan telor."
Jefri berinisiatif menukar ikan dan telorku dengan tempe dan tahu miliknya.
"Jangan menolak kalau tidak mau aku menolaknya juga."
Pria ini benar-benar sosok sempurna untuk setiap gadis. Meski aku berteguh hati untuk tidak jatuh pada pesonanya, tetap saja jantungku berdebar setiap kali ia menatapku dengan penuh perhatian, darahku mendesir setiap ia bernicara dan menyentuhku dengan hangat. Aku sadar, pria nyaris sempurna sepertinya pasti sudah memiliki kekasih, dan aku tidak boleh merusak hubungannya. Aku tahu betul bagaimana sakitnya dikhianati seperti itu.
"Jef, kalian ini pacaran ya?" seorang mahasiswa pria tiba-tiba berbicara seperti ini.
"Bukan." jawabku cepat.
"Masa sih?"
"Iya bukan kok. Kami juga baru kenal kemarin kok, di hari pertama demo." Jefri membenarkan jawabanku.
Hari ini kami dipekerjakan seperti sebelumnya, membersihkan kebun, dan tempat-tempat yang harus di bersihkan di kantor polisi ini. Hari ini juga tahanan mahasiswa bertambah lagi sebanyak 3 orang.
"Hati-hati loh, Jefri itu inceran cewe-cewe beragam kampus." Tutur seorang mahasiswi yang mendekatiku.
"Oh oke, tapi aku bukan siapa-siapanya kok." Aku menjawab ucapannya dengan jelas.
"Kalau gitu, tau diri dong jangan deket-deket lagi sama Jefri." Tutur mahasiswi lainnya.
"Aku ga deketin dia kok."
"Kau pikir semalem apa? Kami lihat loh kamu pegangan tangan sama dia, dan tidur nyender di bahu dia." Mahasiswi ketiga ikut berbicara sambil mendorong dadaku.
"Aku--"
Byuurrr.. Mereka mengguyurkan air untuk menyiram tanaman ke wajahku.
"Apa-apaan ini?" Polisi yang berada di sekitar kami menengahi.
"Dia tadi menampar teman saya, pak." Mereka bertiga kompak menyudutkanku.
"Tapi aku--"
"Sudah, saya tidak peduli. Kalian bertiga saya hukum membersihkan seluruh kamar mandi di kantor ini."
Tempat yang paling kubenci, pekerjaan yang paling kuhindari akhirnya harus kujamahi. Ditambah, ketiga wanita itu membagi tugas secara tidak adil di mana aku mendapat kamar mandi dekat gudang yang paling jauh dari jangkauan manusia.
Awalnya aku menerima saja, tapi ternyata mereka sengaja melakukan itu untuk mengunciku di sana. Sekeras mungkin aku berteriak tak ada yang mendengarku. Menyebalkan..
Jantungku mulai berdegup kencang, tangan dan kakiku bergetar, keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku. Tak ada yang bisa kulakukan selain menangis dan terus berteriak meminta pertolongan. Aku takut kegelapan, aku paling menghindari kesunyian dan aku juga sangat parno akan makhluk halus.
Beberapa jam aku terkurung di kamar mandi ini, sampai kemudian sebuah suara langkah kaki mendekat. Ini kesempatan baik, maka aku berteriak se-kencang mungkin. Untung saja suaraku di dengar, seorang polisi membuka pintu kamar mandi dan menyelamatkanku.
Tapi masalah lain nyatanya datang. Polisi dengan postur tambun dan wajah tua itu menyeringai begitu menemukanku. Ia bukannya menyelamatkanku, tapi justru mengunci tubuhku di tembok. Kedua tangannya mencengkram pergelangan tanganku, dan wajahnya hendak mendekat menciumku. Refleks, aku menendang selangkangannya kuat, karna aku tidak sudi sedikitpun disentuh olehnya.
Lariku ternyata tak lebih cepat darinya. Ia menahan tanganku dan menarik tubuhku. Ia memelukku kuat dari belakang.