Aku terbangun di atas kasur kamarku. Ingatan tentang hari-hari sebelumnya terasa seperti ilusi mimpi untukku. Tentang Jefri, Angga, dan semua hal yang terjadi padaku. Awalnya aku yakin semua itu mimpi, sampai kemudian ibu tiba-tiba saja marah besar karna aku tidak pulang ke rumah sebelumnya.
"Jefri?" Akhirnya aku sadar jika semua itu memang nyata.
Ibu memberi hukuman dengan mengurungku di dalam kamar, tapi aku tak begitu saja pasrah. Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, aku memilih untuk kabur melalui jendela kamarku. Meski harus melompat dari lantai 2 rumah, aku tidak takut dan tetap melakukan itu.
Jika membicarakan tentang keadaan tubuhku, tentu saja remuk dan serba nyeri. Hanya saja, aku merasa semua ini sudah terlanjur, dan juga terasa kebas. Fokusku hanya satu, menyelamatkan Jefri untuk kembali ke jalan yang benar. Ia adalah sosok aktivis terbaik yang pernah kukenal, tutur katanya bijak dan selalu meyakinkan, pemikirannya cerdas dan tak bisa dikecoh, dan ia juga selalu mengedepankan otak dibandingkan otot.
Akhirnya aku kembali dalam kerumunan mahasiswa yang hendak berunjuk rasa pagi ini. Semuanya berjalan beriringan memenuhi jalan raya, menghalangi laju kendaraan yang akan melintas.
Jefri sudah terlihat di titik depan fokus utama semua mahasiswa, berorasi dan mengajak mahasiswa berpikir cerdas seperti biasanya. Sejauh ini, Jefri masih tidak melakukan hal buruk.
"Aku menyesal mengeluarkan temanmu kemarin itu." Sebuah suara berbisik di sisiku.
"Pak Angga?" Sapaku terkejut. Ia kembali berpakaian seperti anak muda dan menyamar di antara ratusan mahasiswa lainnya.
"Pulanglah, akan ada kerusuhan besar hari ini. Aku takut terjadi sesuatu padamu." Tutur Angga
"Pak, Jefri tidak seperti itu. Ia---"
"Aku tahu kau gadis baik, jadi jangan halangi lagi langkah kami." Ucapnya lagi.
Aku menuntun Angga untuk keluar dari kerumunan. Aku harus menjelaskannya lebih cepat.
"Aku bisa menjadi saksi atas apa yang terjadi. Jefri diancam dan--" belum selesai aku bicara, suara keributan mengalihkan perhatianku.
Tanpa kusangka keadaan langsung memburuk. Demonstrasi hari ini sudah berujung rusuh dan saling lempar meski waktu masih menunjukkan siang hari. Keadaan jalanan kian kacau, banyak pengendara yang keluar meninggalkan mobik merek untuk menyelamatkan diri dari kerusuhan.
"Kau mengecohku?!" Angga tak mempercayaiku dan malah berbalik menuduhku.
"Aku tidak--"
Belum selesai aku berbicara, seseorang tiba-tiba menahan lenganku dan memelintirnya ke belakang.
"Kau memang sudah menyelamatkanku waktu itu, tapi ini sudah tugasku untuk mengamankan keadaan." Angga berbicara tanpa mau menatapku.
"Pak, dengarkan aku."
"Aku akan mendengarmu nanti, kau akan menjadi saksi atas semua ini." Angga melangkah pergi dan membiarkanku ditangkap oleh anak buahnya yang juga berperan sebagai intel hari ini.
"Jangan melawan, saya tidak akan menyakitimu." Ucap intel yang tengah memelintir tanganku ini.
Aku melemah dan membiarkan pria itu dengan mudah membawaku kemanapun. Pria itu lalu memborgol sebelah tanganku dan borgol sebelahnya lagi dikaitkan pada sebuah tiang.
"Harus banget ya diborgol?" Tanyaku tak suka
"Kalau tidak, kau akan kabur." Ucapnya