Mendengar penuturan anak buahnya, Angga langsung memeriksa punggungku dengan khawatir. Dengan sigap pria itu menutup punggungku dengan selimut yang anak buahnya siapkan. Ia juga mengangkat dan membopong tubuhku, sentuhannya di tengkukku terasa nyeri mengenai lukaku.
"Cepat bawa kami ke rumah sakit."
Di dalam mobil polisi, Angga terus saja memeluk tubuhku dalam pangkuannya. Kupikir, perlakuannya sangat berlebihan.
"Tidak perlu seperti ini, aku gapapa." Ucapku
"Kau mengorbankan dirimu untuk menyelamatkanku. Dan ini kedua kalinya kau melakukan itu. Padahal aku sudah memperlakukanmu dengan buruk, Aku benar-benar malu." Ia berbicara dengan lemah sambil meneteskan air matanya.
"Jangan bicara lagi." Pintaku.
Kami sampai di rumah sakit terdekat dalam waktu singkat. Angga langsung membopongku kembali menuju ruangan dokter kenalannya. Ia juga menungguiku terus di dalam ruangan itu. Selain khawatir, ini juga karna tangan kami yang masih terborgol.
"Luka bakarnya hanya mengenai bagian luar kulit, aman kok." Dokter lantas mengambilkan salep kulit untukku.
"Kau harus membuka bajumu." Pinta dokter itu.
Aku diam membeku. Jujur saja aku malu dan tidak berkenan untuk melakukan itu, tapi tentu saja tidak mungkin dokter mengobatiku dengan baju yang menghalangi.
"Biar saya saja dok." Angga mengambil inisiatif.
"Aku janji tidak akan berbuat macam-macam." Ucap pria itu meyakinkanku.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka bajuku. Dan Angga pun mukai mengoles salep pereda nyeri ke punggungku dengan lembut. Sekali-kali aku merintih karna rasa perih dari obat itu.
"Kenapa kau melakukan ini semua?" Tanya Angga.
"Hanya usaha kecil supaya kita bisa keluar dengan selamat." Jawabku seadanya.
"Apa kau tidak membenciku?" Tanyanya lagi
"Sidikit."
Selesai dengan luka di punggungku, Angga beralih ke hadapanku. Tangannya bergerak menyentuh pipiku yang sebumnya mendapatkan tamparan. Ia terus saja mengusap pipiku itu lembut. Setelah cukup lama mengusap pipiku, ia beralih menggenggam tanganku dan mengangkatnya.
"Tamparlah aku semaumu."
Tangannya memandu milikku untuk menampar-nampar pipinya, tapi aku tak mengeluarkan tenagaku sama sekali.
"Berhentilah pak." Aku menangkup kedua pipinya dengan lembut. Dan membalas perbuatannya dengan mengusap pipi itu.
Tatapan kami bertemu, dan entah mengapa aku hanyut dan tenggelam dalam matanya yang indah.
Perlahan pria itu mendekatkan wajahnya padaku, mata kami langsung tertuju pada satu titik yang hendak menyatu. Hembusan nafas Angga langsung menerpa wajahku, memberi sensasi menggelitik di perutku.
"Maaf pak." Aku tersadar dan segera mengalihkan wajahku ke sisi kanan.
"Aku...." Angga menggantungkan ucapannya.
Kami terdiam beberapa saat, saling canggung dan malu dengan apa yang tadi akan terjadi.
"Di mana rumahmu, biar kuantar pulang setelah borgol ini bisa lepas. Dalam keadaan seperti ini kau harus pulang." Tutur Angga memecah keheningan.
"Umm.. Bukannya kalian menangkapku?mencelakakanmuu tahu kau tidak bersalah, jadi kau bisa pulang."
"Aku bersalah, jadi biarkan aku bermalam di kantor polisi." Pintaku
"Ada apa denganmu?" Wajahnya menampilkan mimik bingung dan tak mengerti.
"Aku tahu sesuatu tentang Jefri, tapi kumohon biarkan aku menginap di kantor polisi."
"Tapi kenapa?"
"Kalau aku pulang ke rumah, aku tidak akan bisa keluar lagi. Sedang aku masih harus memastikan keadaan Jefri." Jelasku.
"Apa sebegitu penting Jefri di hidupmu?"
Entah mengapa, nada suara Angga terdengar seperti sedang cemburu. Tapi kenapa?
"Dia orang baik, dan sudah banyak membantuku. Saat ini dia sedang dalam masalah, jadi aku harus memastikan keadaannya."