Cerita Cinta Dibalik Omnibus Law

Zihfa Anzani Saras Isnenda
Chapter #2

#2 - Hari Pertama Tolak Omnibuslaw

Kami tiba di depan gedung DPRD provinsi Jawa Barat sekitar pukul 3 sore. Suasana sangat meriah dipenuhi mahasiswa beragam jaster kampus. Kebanyakan yang hadir adalah mahasiswa laki-laki yang datang berkelompok. Mereka semua membawa peralatan tempur seperti makanan dan minuman, karton dan spidol untuk menuliskan pendapat mereka, sampai benda-benda yang tidak kumengerti fungsinya dalam demonstrasi seperti odol dan pemantik api.

Kami semua berkumpul dalam lingkaran besar, memenuhi jalan raya di depan gedung DPRD ini. Beberapa orang berdiri di tengah lingkaran kami dan melakukan orasi panjang lebar yang sama sekali tidak jelas kudengarkan. Ada yang sibuk berfoto dan mengambil momen, ada yang sibuk membagikan makanan, dan ada juga yang sibuk mengobrol atau saling berkenalan. Dalan keadaan ini, kami seolah tidak takut lagi dengan virus yang selama ini mengekang kehidupan. Padahal tidak menutup kemungkinan, akan ada satu saja yang membawa virus itu ke dalam kerumunan ratusan orang di tempat ini.

Waktu terus berlalu dan kegiatan di tempat ini masih sama, menyuarakan keadilan dan tuntutan. Sedang pihak yang dituntut tidak sama sekali mendengarkan kami dan malah menggunakan polisi sebagai tameng mereka untuk bersembunyi.

Sedikit-sedikit, beberapa mahasiswa berteriak dan mengucap kata kasar, lalu sedikit-sedikit juga mahasiswa lainnya tersulut emosi dan melempar botol minum ke dalam gedung DPRD tersebut. Beberapa kali keadaan memanas dan sedikit ricuh, tapi tidak ada tanda-tanda polisi turun tangan dan menambah kerusuhan.

Demonstrasi yang kuikuti ternyata tidak se-parah yang sering diberitakan. Tidak ada aksi kejar-kejaran dan saling serang seperti yang kuduga sebelumnya. Bahkan polisi yang berjaga di dalam sana terus saja duduk-duduk di halaman gedung itu. Kami juga tidak bisa berdiskusi atau sekadar berkenalan dengan para polisi seperti yang sering muncul di sosial media, karna posisi kami terhalang pagar besar yang mencipta jarak jauh antara mahasiswa dan polisi. Entah hanya demonstrasi di kota Bandung yang dibuat sangat berjarak, atau memang sosial media yang berbohong dan terlalu melebih-lebihkan keadaan demonstrasi selama ini.

"Sudah puas? Ayo pulang." Rizky terus saja merangkul pinggangku dengan posesif seolah tidak mau kehilangan aku.

"Tunggu lah sampai ada hasilnya." Tolakku. Aku juga menepis tangan Rizky. Terlalu menjengkelkan saat ia melakukan ini di tempat umum.

"Hal seperti ini tidak akan menghasilkan jawaban dalam satu kali demonstrasi." Tutur Rizky

"Ya kau pulang saja sendiri sana, aku masih mau di sini." Bantahku lagi.

Ekspresi wajah Rizky langsung berubah marah. Ia juga tak lagi menuntun atau merangkulku seperti sebelumnya, dan mulai disibukkan dengan ponselnya. Meski demikian, aku senang karna ia tak benar-benar meninggalkanku sendirian di sini.

Aku sangat fokus pada orasi di tengah mahasiswa, di mana salah satunya adalah pria tampan yang mengenakan jaster biru tua dengan logo kampus yang sangat kudambakan. Selain tampan, ia terlihat sangat berwibawa dan berkharisma. Sejauh mata memandang, banyak mahasiswi perempuan hanyut dalam orasi pria tersebut, entah terpesona oleh tiap kata yang dilontarkan atau justru oleh ketampanannya. Tapi bagiku pribadi, orasi pria itu memang luar biada hebat, bahkan yang terbaik di antara mahasiswa lainnya.

Lihat selengkapnya