Aku terbangun dalam sebuah ruangan putih bersih dengan beberapa kasur dan pasien, sudah seperti bangsal. Sekilas melihat ruangan ini sudah jelas jika aku berada di rumah sakit, apalagi ketika sadar akan infus yang menusuk dan melilit di sebelah pergelanganku. Tapi yang membuatku bingung adalah bau khas rumah sakit yang sama sekali tidak tercium di indera penciumanku. Jadi, apa ini rumah sakit atau surga?
"Hai, sudah bangun?" tanya sebuah suara. Seorang ibu yang masih terlihat muda dan terbaring di kasur sampingku tersenyum hangat.
Aku tersenyum dengan canggung. Selain aku tidak mengenalnya, aku juga tidak tahu tempat apa yang kudiami saat ini.
Aku turun dari kasurku dan berkeliling melihat ruangan besae ini, ada sekitar 8 kasur yang saling berhadapan. Semua orang sedang tertidur dan hanya tersisa aku dan ibu itu.
Aku berjalan dengan takut menuju pintu, tapi sialnya pintu itu dikunci. Aku mencoba mengintip melalui pintu, yang kutemukan hanyalah lorong panjang yang mengarah ke sebuah pintu.
"Kemarilah dik, jangan takut." ibu tadi melambai untukku mendekat.
Baru aku kembali duduk di kasurku, pasien yang terlelap di kasur depanku tiba-tiba kejang, dan merintih dengan suara yang seperti terjepit. Karna itu semua pasien terbangun dan berkumpul di satu titik dengan panik. Suara bell tiba-tiba berbunyi keras.
Tak lama dari itu, orang-orang berpakaian putih berlapis-lapis, dengan berbagai alat perlindungan diri berdatangan dengan terburu-buru. Mereka mengeluarkan berbagai alat, dari mulai oksigen, sampai dengan alat pemancing pompa jantung.
Dalam hitungan detik suara dengung dari alat pendeteksi jantung terdengar nyaring memekak di telingaku. Sontak aku langsung menutup telingaku kuat.
Saat itu juga para pasien yang sedari tadi panik tiba-tiba mendengik sesak nafas.
"Semuanya tenang." Orang-orang yang sedari tadi menangani pasien itu langsung menenangkan kami satu per satu.
"Apa yang terjadi?" tanyaku tak mengerti.
"Tidak apa-apa, semua orang akan meninggal dunia pada waktunya. Jangan takut." tutur seorang wanita yang berusaha membuatku tenang.
"Maksudnya gimana? kau siapa?" tanyaku lagi
"Saya dokter Ani. Dokter yang memegang pasien Zeeva Anzela." ucapnya ramah. Meski demikian, suaranya tetap samar terderngar. Aku bahkan tak bisa melihat wajahnya di balik pakaian yang seperti astonot itu.
Melihat semua yang terjadi saat ini, aku sadar akan sesuatu hal.
"Aku terkena covid?" tanyaku
"Jangan takut Zeeva, gejalamu tidak begitu parah. Jadi kau harus kuat dan melawannya." jawab dokter itu.
Deg.