Aku bisa mendengar sebuah suara dalam kegelapan. Suara yang memintaku bangun dan bertahan. Suara yang terus menyemangatiku dan terus membuatku hidup.
Perlahan aku mengerjapkan mataku, membiarkan cahaya menyambut pandanganku.
"Zeeva!" suara seseorang terasa familiar dan hangat.
Aku terkejut melihat sosok pria ini berada di sisiku. Jefri.
Cepat aku bangkit dari tidurku, kulepas alat bantu nafas yang menutupi hidung serta mulutku.
"Pelan-pelan." ucap Jefri.
Aku ingin percaya akan kehadirannya, tapi aku merasa semua jni hanyalah mimpiku. Aku meraba wajah tampan pria itu dengan kedua tanganku, tapi kehadirannya benar-benar nyata.
Dalam satu gerakkan, aku langsung memeluknya erat, dan menumpahkan tangisku. Ia membalas pelukanku sama erat dan mengusao rambutku lembut.
"Hey hey, jangan menangis. Nanti kau sesak lagi." ucapnya.
Aku tersadsr kembali akan kondisiku. Maka buru-buru kujauhi pria itu.
"Jauh-jauh dariku, nanti kau tertular." tuturku
Jefri tertawa akan perkataanku, dan ia malah kembali mendekat untuk memelukku lagi.
"Aku juga bisa menularkan virus sialan itu padamu kok." ucapnya seraya memelukku.
"Maksudmu?" tanyaku tak mengerti.
"Aku di sini, berarti aku juga terinfeksi." jawabnya.
Di satu sisi, aku merasa sedih karna ia harus merasakan penderitaan dikurung karna penyakit seperti ini. Tak bisa kemana-mana dan tak bisa melakukan apa-apa. Hidup dalam sesak, dan tak bisa lagi mengecap rasa atau mencium bebauan. Tapi di sisi lain, aku senang karna aku kembali memiliki teman di sini, seseorang yang bisa memelukku dan menjadi penguatku lagi.
"Jefri?" sapaku
"ya?"
"Kita harus keluar bersama dari sini." ucapku
"Aku setuju." Jefri menyetujuiku.
Setelah kedatangan Jefri, keadaanku lambat laun membaik. Pria itu sering menyuapiku, menghiburku dan membuat setiap hariku bahagia. Meski dia bukan kekasihku, tapi ia berperan seperti itu selalu dalam kehidupanku yang saat ini. Kami juga semakin saling mengenal dan dekat. Jefri ternyata adalah pria yang lucu dan humoris, meski di luar terlihat cool dan pendiam.
Kami sering berbaring bersama dalam satu kasur, tak peduli pasien lain melihat kami, juga tak peduli peraturan dokter Ani yang selalu melarang hal ini. Bagi kami, selama tidak melakukan hal terlarang maka tidak menjadi masalah.
Dan saat ini, hal itu terjadi lagi. Kami berbaring bersama, dan aku tertidur dengan sebelah tangan Jefri menjadi bantalku.
"Aku senang karna terinfeksi dan bisa bersamamu di sini." ucap Jefri tiba-tiba.
"Kau ini!!! orang-orang ingin sembuh, kau malah semang terinfeksi." cibirku
Dalam beberap detik kami tertawa dan saling cubit.
"Kau tahu tidak betapa khawatirnya aku saat tau kau terkena covid?"
Aku menggeleng.
"Rasanya seperti orang gila" jawabnya.
Aku mencubit perutnya yang sixpack itu dengan keras, "Drama banget." ucapku.
"Kau tahu betapa rindunya aku selama seminggu lebih kemarin?" Ia kembali bertanya.
Aku menggeleng lagi.
"Rasanya seperti gembel yang tidak menemui makan dan minum selama waktu rinduku itu."
"Hiperbola banget sih!" aku kemballi mencubitnya.
"Waktu itu aku sempat berusaha menyamar jadi dokter supaya bisa masuk ke sini." Ia tertawa setelah mengatakan itu.
"Serius?"
"Iya, tapi dokter Ani tahu dan malah mengomeliku." keluhnya seperti anak kecil.
Aku tertawa dan selalu seperti itu atas perbincangan kami. Jefri memang selalu bisa membuat topik menarik dan membuatku tertawa dalam topik itu.
"Kau tahu tidak betapa hancurnya hatiku saat tahu kondisimu saat kehilangan sosok Ibu itu?" Jefri kembali berbicara membuatku seketika beku dan diam.
Jefri menyisikan badannya menghadapku. Tubuhnya menyampinh menumpu pada sisi kiri seluruh badannya.
"Rasanya seperti tergigit ular kingcobra, perlahan tapi pasti mematikan." ucapnya.
Aku melihat wajah Jefri, kali ini tanpa candaan seperti biasanya. Rautnya sangat serius dan dingin seperti masa-masa awal aku bertemu dengannya. Meski demikian, dari sorot matanya bisa kulihat kejujuran dan rasa takut yang besar.
Tangan kanan Jefri terangkat dan menyentuh rambut-rambutku. Mengelusnya dengan lembut.