Air mata Angga bercucuran, diikuti dengan air mataku. Tubuhnya bergetar membuatku refleks memeluknya seperti kebiasaan pria itu saat menenangkanku.
"Aku tidak bisa membayangkan apa yang Jefri rasakan selama itu." lirih Angga
Aku tak bisa berkata-kata karna aku sendiri merasa sangat sedih dan terpukul, terutama setelah mendengar semua cerita Angga.
"Melewati derita dan maut dalam kesendirian. Tidak bisa melihat teman, keluarga, bahkan orang yang ia cintai untuk terakhir kalinya. Bahkan penguburan pun dalam keadaan berbalut plastik seperti itu." Ucap Angga lagi.
Aku masih diam membenarkan ucapan Angga. Aku pernah merasakan di dalam penjara covid, dan beberapa hari tanpa siapapun setelah ditinggal ibu. Dan itu benar-benar sangat menyedihkan dan menyesakkan.
"Aku seharusnya tidak menyetujuinya, karna sejak awal aku tahu anak itu lemah." lanjut Angga
"Angga, kalian sama-sama berkorban besar untukku. Semua salahku." ucapku
Angga mengusap pipiku.
"Jangan seperti itu, aku tidak suka kau menyalahkan diri sendiri." tuturnya
"kalau begitu kau juga jangan begitu, aku juga tidak suka kau menyalahkan diri sendiri." aku membalikkan ucapannya.
Kami berpelukan dan meluapkan semua tangis kami untuk malam ini, sambil melihat bintang yang kami yakini ditempati Jefri untuk saat ini.
"Jefri sudah bertemu ibu di sana." lanturku.
"Aku harap, ibumu tidak lantas menyukai Jefri dibandingkan aku." timpal Angga.
Aku tersenyum, "Ibu pasti menyukali kalian. Sama seperti aku mencintai kalian."