Jenny mematut diri di cermin pagi itu sebelum berangkat sekolah. Ia tampak lebih cerah bersinar. Bukan karena krim pemutih murah yang ia beli di warung, tapi karena seragam putih baru yang dipakainya. Seragam yang dibelinya mendadak semalam karena seragam sekolahnya bolong di bagian punggungnya. Dilihat dari bolongnya, sepertinya seragam Jenny bolong karena digigit tikus. Untungnya penjaga toko itu masih mau melayani meski sebenarnya sudah jam tutup, meski muka penjaganya masam.
Jenny memasukkan beberapa buku, alat tulis, dan kartu tes ke dalam tas. Hari ini tesnya tidak terlalu memeras otak, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Setidaknya Jenny tidak perlu menghitung atau menghapal banyak-banyak. Di samping itu, sebagai penulis amatiran, Jenny memang suka pelajaran Bahasa.
Pukul tujuh tepat Jenny baru berangkat sekolah. Pada hari biasa, seharusnya semua murid sudah di sekolah pukul tujuh karena kegiatan belajar mengajar telah dimulai. Tetapi selama tes jam masuk sekolah menjadi agak siang, yaitu pukul setengah delapan. Mungkin hal itu juga untuk mengantisipasi kalau ada murid yang datang terlalu siang.
Saat keluar dari gerbang rumahnya, Jenny bertemu Kevin. Cowok itu berjalan tak jauh darinya. Tumben Kevin jalan kaki? Biasanya dia selalu ke sekolah naik sepeda, Jenny bertanya dalam hati. Jenny mempercepat langkahnya mendekati Kevin. Tapi setelah berada satu kaki di belakang Kevin, Jenny malah meragu. Tadinya Jenny ingin bertanya kenapa hari ini Kevin tidak naik sepeda ke sekolah dan mungkin saja mereka bisa berangkat bareng sambil berbincang sedikit. Tapi bagaimana kalau Kevin mendiamkannya? Kalau nanti Jenny membuka obrolan, pasti ia akan terlihat seperti orang sinting yang bicara dengan tembok. Atau terlihat bodoh saat kehabisan topik karena Kevin hanya akan menjawab seperlunya jika Jenny bicara. Cowok ini membuat Jenny serba salah!
Seolah merasakan kehadiran Jenny, Kevin menoleh. Reaksi ini membuat Jenny terkesiap.
“Kenapa kaget?” tanya Kevin.
Jenny menunduk, menyembunyikan rasa malunya. “Nggak apa-apa,” jawab Jenny speechless.
Kevin hanya mengangkat alis, lalu kembali menghadap ke depan. Cowok itu seperti tidak memedulikan Jenny.
“Tumben lo jalan kaki?” Akhirnya Jenny memberanikan diri untuk bertanya.
“Sepeda gue di bengkel,” jawab Kevin singkat tanpa menoleh Jenny.
“Kenapa?”
“Bannya meletus.”
“Oh,” Jenny tidak tahu mau berkata apa lagi.
Setelah itu, mereka bungkam sepanjang sisa jalan sampai sekolah. Kevin kembali tidak memedulikan Jenny. Tuh kan, gue didiemin. Aneh emang ini cowok, ada orang lain di dekatnya diajak ngobrol kek, batin Jenny dengan sedikit kesal.
Jenny membiarkan Kevin berjalan di depannya dengan tatapan mata yang tak lepas dari cowok itu. Semakin dilihat, Kevin semakin menarik. Semakin membuat Jenny jatuh cinta. Dipandanginya rambut cokelat Kevin. Andai rambut itu berwarna pirang, dia akan terlihat seperti aktor Amerika bernama Devon Sawa. Sepertinya yang membedakan Kevin Romero Browning dan Devon Edward Sawa saat ini hanyalah warna rambut dan warna kulit mereka. Mereka sama-sama bermata biru, memiliki bentuk bibir dan hidung yang sama, dan sama-sama tinggi tentunya. Tetapi Devon Sawa berkulit cerah dan berambut pirang. Sedangkan Kevin berkulit agak gelap dan berambut cokelat.
Emang sih, dia aneh. Anehnya lagi, gue suka sama dia, lagi-lagi Jenny membatin.
Tiba-tiba Kevin menoleh seolah sadar secara naluriah bahwa Jenny sedang memperhatikannya. Jenny jadi salah tingkah karena kedapatan memperhatikan Kevin.
“Ada apa? Ada yang salah?” tanya Kevin.
Jenny menggeleng. “Enggak, nggak ada,” katanya cepat sambil berusaha bersikap biasa saja walau saat ini hatinya kebat-kebit. Di depan Jenny, Kevin hanya tersenyum sambil menggeleng.
***
Siang hari yang terik, Jenny jalan kaki menyusuri trotoar sekolah sepulang sekolah. Seperti biasa, jalan raya maupun trotoar ramai sepulang sekolah. Trotoar hampir penuh dijejali anak-anak berseragam putih abu-abu yang berjalan kaki atau berdiri menunggu angkutan lewat. Keadaan itu diperparah dengan para pedagang yang mempersempit trotoar. Keramaian seperti ini selalu terjadi pukul 12.30 siang kecuali hari Minggu atau hari libur lainnya.
Di belakangnya, Jenny mendengar suara sekelompok anak laki-laki sedang bersenda gurau. Candaan dan tawa mereka berisik sekali, mungkin sama berisiknya dengan hiruk pikuk jalan raya di samping trotoar itu. Jenny memutar kepalanya untuk melihat siapakah sekelompok anak laki-laki yang sedang bercanda itu. Rupanya itu suara Radit—kapten basket tampan idola sekolah—dan teman-temannya. Tanpa mengacuhkan mereka, Jenny melanjutkan langkah. Ia ingin segera sampai rumah karena kepanasan.
Tiba-tiba, tanpa disangka, Jenny merasakan sesuatu yang amat berat mendorongnya lalu menimpa tubuhnya hingga membuatnya tersungkur. Detik berikutnya, sesuatu yang basah, lengket, dan berwarna merah membasahi tubuhnya. Sementara siku dan lutut Jenny bergesekkan dengan permukaan trotoar paving yang kasar. Untung Jenny memakai rok panjang sehingga lututnya tidak tergores. Tetapi siku Jenny yang tidak terlapisi apa-apa langsung terluka dan mengeluarkan darah.
“Aduuh!!” Jenny mengaduh kesakitan sambil berusaha bangkit.
Si pelaku yang ternyata Radit memegang tangan Jenny dan membantunya berdiri. “Lo nggak apa-apa?”
“Menurut lo?” ujar Jenny ketus. Ia kesal sekali karena sikunya terluka dan pakaian barunya yang putih cemerlang kini berubah menjadi merah gara-gara ketumpahan minuman bersoda milik Radit.
“Sorry gue nggak sengaja.”
Jenny tidak menjawab, ia menyentakkan tangannya yang masih dipegang Radit. “Gara-gara lo nih! Baju gue jadi merah, kan?! Susah tahu nyucinya!” omel Jenny.
“Iya, gue minta maaf ya. Gue nabrak lo keras banget.” Radit menyadari ada darah mengalir di siku Jenny yang tergores permukaan trotoar. “Siku lo berdarah. Ayo berhenti dulu, biar gue obatin.”