Cerita dari Ankara

Syafi'ul Mubarok
Chapter #1

Cerita dari Ankara

Lampu kota itu cukup redup. Tidak cukup kuat untuk melawan gelap malam. Walau sempat berteman senja untuk sementara. Namun, malam tetap bertatap untuk menetap. Dia tidak sendiri, masih ada puluhan lampu lain yang berjejer di sepanjang jalan. Sebuah jalan yang bahkan aku sendiri tidak mampu mendefinisikannya. Begitupun dalam mimpi.

Itu adalah jalan terbesar yang pernah aku lewati. Marka jalannya nampak anggun walau berkilauan ditelan malam. Rambu penunjuk jalan pun menggunakan aksara yang cukup sulit untuk dimengerti. Tapi aku bersyukur, masih ada rasi gemintang, yang lebih enak dipandang.

Aku tengah duduk di dekat kaca bus. Dari 3 jam sebelumnya, aku hanya bertemankan sendiri. Tidak ada seorang pun yang kuajak bicara. Kebetulan bus itu nampak lengang. Sendiri bukan berarti diam. Beberapa kali aku mencoba mengobrol dengan siluetku di kaca yang berembun. Semoga tidak ada yang mengataiku sinting.

Ini adalah bus pertama dalam hidupku yang menawarkan sentuhan premium. Walaupun, seorang teman menyarankan untuk tidak menggunakan bus antarkota itu. Mereka berulang-ulang menyebut tentang pelayanan, rating rendah, sampai supir yang ugal-ugalan. Aku sempat tertegun, ketika seorang pria berpakaian rapi menghampiri. Ia nampak mirip dengan waiter restoran.

Ia beberapa kali mengajakku mengobrol. Aku tidak begitu jelas dengan apa yang ia tanyakan. Ia terus mengulang-ulang. Aksen yang terdengar laksana angin, cepat dan membingungkan. Beberapa kata dapat tertangkap memori otakku. Itu pun berkat bantuan kata-kata yang kujumpai di marka sepanjang perjalanan. Bodohnya aku, lebih suka bepergian sendiri.

Could you use English for a moment?” pintaku.

Eh, tea or coffee?” Ia mencoba tersenyum.

Tea, please,” Aku membalas senyumnya.

Ia kemudian kembali menggunakan bahasa ibu nya. Sepertinya ia akan kembali untuk beberapa saat. Mungkin dengan segelas teh dan roti. Aku sangat berharap. Suhu yang cukup ekstrim nampak berhasil melilit perutku. 6 derajat bagi orang tropis sepertiku, cukup menyiksa.

Waiter itu muncul dari bawah. Aku sempat kaget, namun baru sadar bahwa bus ini bertingkat. Sementara aku tengah duduk di tingkat ke dua. Ia memberiku segelas teh yang mengepul. Belum sempat ia berbalik, ia kembali berbicara kepadaku.

Aku mengernyitkan dahi. Ia sepertinya sadar, aku tidak mengerti apa yang tengah ia katakan.

Passport!” teriaknya sembari melakukan gerakan isyarat.

Aku mengangguk sejenak.

You need my passport? For what?

Ia berusaha mencari kosa kata yang bisa aku pahami.

Lihat selengkapnya