Bepergian sendiri memiliki suka dan duka. Aku tidak bisa menakar berapa banyak suka atau lebih sedikit duka, atau mungkin seimbang. Tapi, bila engkau seorang introvert, atau tipe orang yang kurang bisa membaur, lebih baik bepergian berkelompok. Karena akan menjadi masalah bila engkau berjumpa masalah. Apalagi di tanah perantauan yang tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama.
Salah satu tanah yang memberlakukan hal itu adalah Turki. Hampir seluruh masyarakatnya tidak menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa utama. Bukan karena mereka tidak bisa, tetapi mereka terlalu cinta kepada bahasa Ibu mereka. Sungguh teladan yang baik bagi kita para pemilik negara yang belum terlalu menyelami esensi nasionalisme.
Untuk penyebab mengapa mereka demikian, sepertinya akan kuceritakan dilain tulisan. Yang pasti, bepergian secara kelompok adalah ciri khas bangsa Indonesia. Nenek moyang kita para penakluk laut pun menjelajah ramai-ramai. Karena salah satu cara membunuh rasa kangen adalah berkumpul dengan sesama.
Namun, saat itu aku lebih memilih pergi sendiri. Tentu segala konsekuensi harus kuterima. Mulai dari ketidakpahaman bahasa, kesulitan berkomunikasi, hingga tidak paham budaya masyarakat setempat. Namun, senantiasa memberi refleksi akan kehidupan bukan?
Akhirnya, aku memilih duduk di lorong terminal. Sendiri, menunggu seorang teman menjemputku. Semoga saja dia tidak sedang bercanda dengan janjinya beberapa malam sebelumnya. Atau mungkin dia masih terbenam di ranjangnya. Siapa tahu.
Sejatinya aku tidak benar-benar sendiri. Asti saat itu benar-benar ramai. Penumpang berlalu lalang memecah keheningan. Namun, aku tetap merasa sendiri. Atau kalau engkau menghitung tas ranselku dan juga seseorang perempuan di ujung lorong, aku benar-benar tidak sendiri.
Aku tidak salah lihat. Ada seorang perempuan yang tengah berdiri. Aku belum terlalu mengerti, apa yang tengah ia lakukan. Mungkin dalam beberapa menit ke depan, aku akan mendekatinya. Mengajaknya mengobrol atau sekadar menyapa dari mana ia berasal. Dari pada aku menghabiskan umur menunggu teman yang tidak juga datang, atau sekadar mengobrol dengan ransel.
Aku bangkit dari kursi dan mulai mengayun langkah. Namun, di langkah ke empat kalau tidak salah, tiba-tiba kakiku berhenti. Memori otakku secara otomatis mengingat sebuah aturan yang cukup masyhur di kalangan traveler.
Jangan mudah percaya dengan siapa pun yang baru engkau kenal.
Tentu alasan utamanya adalah masalah keamanan. Kriminalitas sering terjadi bukan karena direncanakan, tetapi karena ada peluang. Dan apakah benar bertemu dengan orang baru adalah peluang terjadinya tindak kejahatan? Ah tidak sebercanda itu.
Sepertinya perempuan itu sadar, ada seorang laki-laki yang mendekat. Aku mencoba terus melangkah mendekatinya, sembari menghapus prasangka buruk tersebut.
“Ini luar negeri boi, masa iya masih ada kejahatan,” gumamku dalam hati.
Pesan pertama yang kudapat dari gesturnya, ia nampak tidak sedang baik-baik saja. Wajahnya yang putih bersih cukup menarik perhatianku. Rambut hitamnya terurai di udara. Setiap laki-laki pasti berkomentar bahwa dia cantik. Ia sepertinya bukan orang lokal.
Ia tengah berdiri sembari membentang tulisan.
Help me go home