Keriuhan terminal membuatku tertegun. Apalagi beberapa orang menganggapku sinting karena tidur sembarangan. Padahal, aku tengah terjebak dalam permainan kotor penipu jalanan. Yang tidak membuatku habis pikir, itu dilakukan oleh seseorang yang cukup menyita perhatian, utamanya bagi laki-laki. Nasehat hidup lain yang aku dapat kawan, jangan mudah percaya dengan paras perempuan, apalagi yang baru engkau temui.
Untung ada Alif yang datang di waktu yang tepat. Bila tidak, mungkin aku akan lebih lama tertidur di emper terminal, dan segera dievakuasi oleh petugas setempat. Walaupun kami akhirnya juga melapor ke satpam Turki. Ternyata orang yang sama juga berbuat ulah beberapa minggu terakhir.
“Dasar, enam tahun nggak ketemu, masih aja mudah kegoda sama perempuan.”
Aku hanya nyengir.
“Ya mungkin itu alasan mengapa Tuhan tidak mengizinkanmu tinggal lama di sini. Kamu belum kuat sama perempuan-perempuan di sini.”
“Wajarlah, namanya juga laki-laki, bukan?” Aku mencoba melakukan pembelaan.
Diam sejenak. Hanya langkah kaki kami yang beradu. Sepertinya dia tidak lagi tertarik dengan bahasan masalah yang baru saja menimpaku, dan tentang perempuan.
Oh iya, Alif adalah teman lamaku yang kebetulan sedang dinas di kedutaan besar Turki di Ankara. Kami sempat satu asrama, semasa masih mahasiswa dulu. Namun, waktu dan pengalaman yang telah menempanya, sepertinya tidak mengubah jati dirinya.
Ia persis dengan Alif yang pertama kali aku berjumpa dengannya. Bahasa yang ceplas-ceplos, wajah yang masih sama, ukuran baju yang sama, sampai sifat yang masih sama. Perjalanan ini memberiku pembuktian lain. Bahwa waktu tidak serta-merta mengubah kamu. Kamu tetap menjadi kamu, bila tidak ada kemauan dari dalam untuk berubah. Jadi, stop menyalahkan waktu atas apa yang kamu alami hari ini.
“Lewat sini,” ia menunjuk ke sisi lain terminal.
Tanpa berpikir panjang aku langsung mengikutinya.
“Mau kemana kita?” aku mulai berjalan gontai. Suhu tiba-tiba turun drastis ketika kami sampai di sisi lain terminal.
“Coba tanyakan pada peta,” ucapnya singkat.