Segelas Chai menjadi pewangi rindu, aku dan Alif yang telah lama tak bersua. Seperti halnya dua burung yang tidak pernah bertemu, kami berkicau begitu lama. Ngalor-ngidul membahas masa lalu, masa sekarang, sampai masa depan. Sesekali Alif tertawa sementara tanganku tak sengaja menggebrak meja. Kearifan lokal yang masih terbawa, walau telah melintas benua.
“Jadi, kamu benar-benar membuat Pak Mulyono tertegun?”
Aku mengangguk tanpa dosa. Alif kembali tertawa. “Kamu pamit begitu saja?” tanya Alif masih belum puas.
“Aku jabat tangannya sambil berbisik. Pak, Mubarok mau berangkat ke Turki bertemu Erdogan.”
“Lalu ekspresinya?” Alif masih penasaran.
“Pucat pasi, hampir mirip seseorang yang habis ketemu setan.”
“Lah kamu enggak nyadar mukamu kaya setan?”
Tawa Alif benar-benar pecah. Suaranya membahana ke langit-langit. Orang-orang mulai mengarahkan pandangan ke meja kami. Aku melihat gelas chai ku yang masih tersisa. Aku membayangkan menyiramkannya ke wajah Alif agar berhenti tertawa.
Tapi aku cepat-cepat menghapus rencana itu. Selain menghindari keributan lain yang meletus, aku juga menjaga agar Alif tetap mau menyediakan tempat tinggal. Ngomong-ngomong tentang ketawa Alif yang sangat mengganggu—bisa masuk polusi suara—penyebabnya adalah Pak Mulyono, guru IPS kami ketika SMP.
Sejauh ini ada dua alasan combo mengapa Alif bisa begitu puas tertawa. Pertama, aku dan Alif adalah teman sebangku yang dicap oleh Pak Mulyono tidak akan bisa keluar negeri. Tidak jelas penyebabnya, seingatku, Alif sempat beradu argumen tentang kegiatan ekonomi masyarakat Turki sebelum dan sesudah keruntuhan Khilafah. Singkat cerita, kami dikutuk tidak akan bisa keluar negeri, karena mematahkan argumen seorang guru.
Kalau dipikir-pikir aneh juga. Seperti tidak ada pekerjaan lain bagi kami, selain membantah penjelasan guru. Tapi begitulah yang terjadi. 4 tahun berlalu setelah momen itu, Pak Mulyono tertegun ketika Alif mendapatkan beasiswa belajar di Ankara, Turki. Kemudian disusul denganku beberapa tahun setelahnya. Bukan untuk belajar, tetapi kunjungan ilmiah.
Alasan yang kedua adalah tentang kegiatanku. Pak Mulyono adalah fans berat Pak Erdogan. Mungkin itu adalah salah satu mimpi besarnya. Namun, tiba-tiba bocah tengil sepertiku datang ke rumahnya, ingin pamit untuk bertemu pak Erdogan. Siswa yang dicap tidak akan pernah ke luar negeri justru mendahuluinya bertemu bapak Idola.