Tram akhirnya melambat. Selama perjalanan kami tidak bisa berdiam diri. Aku tak ubahnya anak kecil yang terus bertanya tentang apa yang terlihat. Sementara Alif lebih mirip seorang Bapak yang mendiktekan alif ba’ ta’ kehidupan kepadaku. Seorang udik yang mencoba untuk menjelajah Ankara.
Tidak ada tempat yang paling nyaman dalam perjalanan, kecuali jendela. Engkau bisa melihat segalanya dari kotak persegi transparan tersebut. Sialnya hari itu hujan, kaca sembab oleh rintik air hujan. Tidak masalah bagiku. Masih ada mozaik menakjubkan kota Ankara dari atas Tram.
Saat itu Tram tidak terlalu ramai. Masih banyak tempat duduk yang kosong. Kami sengaja berdiri, mengambil tempat di paling pojok gerbong Tram. Alasan pertama agar tidak teralalu mengganggu penumpang yang lain, dan alasan kedua agar kami mudah untuk bercanda hingga terguling di lantai.
Sesekali aku mencoba fokus kepada iklan yang tayang di langit langit Tram. Mencoba memahami apa yang mereka ucapkan dan apa yang dimaksud tulisan tulisan berjalan tersebut.
“Jangan sok paham deh, lebay amat,” Alif mulai menggoda.
“Biarin, seenggaknya belajar memahami,” jawabku.
“Susah bahasa Turki, kami kaum pendatang harus belajar minimal 1 tahun, itu pun belum tentu paham.”
“Kamu tahu kenapa KH. Agus Salim, bapak pahlawan kita bisa menguasai belasan bahasa?”
“Wih, asik nih, sudah bawa bawa sejarah,” Alif mulai terpancing.
“Yee, aku Tanya.”
“Eh dasar ubin masjid,” Ia melayangkan pukulan ke kepalaku.
Aku hanya bisa mengaduh.
Sepertinya kami saja yang berisik. Beberapa penumpang nampak sinis memandang kami. Aku pun mencoba membalas tatapan mereka dengan sebuah senyuman. Mereka langsung berpaling ketika aku mulai melontarkan senyum. Sepertinya mereka tahu senyum palsuku.
Hingga sorotan mataku tertuju pada seorang perempuan berparas cantik yang bersandar di seberang kaca. Lama sekali aku menatapnya, sepertinya bola mataku bernostalgia dengan pemeran drama Turki yang terlihat di layar televisi. Kini aku bisa melihatnya secara langsung.
“Awas mata,” Alif mengusap wajahku hingga mengganggu penglihatanku.
Aku mencoba menyingkirkaan telapak tangannya dari mataku, namun usaha itu sia sia.
“Pernah enggak iman kamu terganggu gara gara pemandangan seperti itu,” aku menunjuk ke arah perempuan itu.
Alif sejenak melayangkan pandangan ke perempuan tersebut. “Enggak, B aja si.”
Aku melongo mendengar jawabannya. “Kau bilang B aja? Kamu masih suka perempuan kan?”