Cerita dari Ankara

Syafi'ul Mubarok
Chapter #6

Imigran Gelap

Bus dengan kode 443L terus melaju di tengah malam. Beberapa kali berhenti, para penumpang terus berkurang, tidak satu pun yang naik. Sepertinya Alif dan aku adalah orang terakhir yang naik bus ini.

Di Ankara, sistem transportasi telah terintegrasi. Engkau bisa naik bus, tram, hingga angkutan tanpa perlu ribet mengeluarkan uang. Semua berbasis elektronik, memanfaatkan kartu yang terisi saldo. Engkau dapat dengan mudah menemukan tempat pengisian saldo di setiap sudut terminal atau stasiun.

Uniknya, bus 443L yang aku tumpangi belum menerapkan sistem tersebut. Alif sempat berdiam lama di pintu bus, mencari tempat tapping kartu. Hal ini cukup menimbulkan kegaduhan. Supir bus memberi isyarat untuk segera masuk sembari menunjuk temannya di bagian tengah. Sepertinya sang supir juga kedinginan.

Masing-masing dari kami merogoh beberapa koin di saku. Total harga yang harus dibayar adalah 2.75 lira. Aku menemukan 2 koin 1 lira dan 3 koin 25 sen di saku celana. Setelah mendapatkan balasan senyum dari petugas, kami pun mencari tempat duduk.

Aku dan Alif sama-sama mencari sisi jendela. Akhirnya duduk tidak dalam satu posisi, tetapi satu baris. Tidak banyak cerita yang bisa diserap dari interior bus. Beberapa orang mengantuk di sudut bus hingga beberapa muda-mudi yang mengobrol pelan. Bus 443L cukup panjang. Bila diukur dengan standar bus Indonesia, bus Ankara terdiri atas 2 bus Indonesia.

Selama perjalanan aku hanya melamun. Mencoba mengamati gerak-gerik kota Ankara dari balik jendela. Beberapa puluh jam kehadiranku di Ankara, cukup untuk menyimpulkan betapa sibuknya kota Ankara. Memang, ini adalah kota pemerintahan, puluhan kedutaan besar sampai gedung pemerintahan Turki berada di kota ini. Sementara Istanbul tidak lebih dari kota wisata.

Di balik lamunanku, kode 433L terus bergelayut. Aku kemudian berpikir bagaimana rumitnya sistem transportasi di Ankara. Lebih tepatnya bagaimana mereka membangun untuk pertama kali dan memastikan tidak ada yang saling tumpah tindih. Keren.

“Lagi ngelamun hutang?”

“Enggak, lagi bingung aja,” jawabku singkat.

Alif menggeleng sembari menatap wajahku.

“Tidak ada bedanya.”

“Bedanya?”

“Aku jadi ingat ucapan Pak Munir 15 tahun yang lalu, mukamu adalah pusaran kebingungan,” dia terkekeh.

“Enak saja.” Aku memukul wajah Alif dengan peta destinasi wisata.

“Aku hanya kagum dengan orang yang pertama kali membangun kota ini.”

Alif mengernyitkan dahi.

“Lihatlah, betapa kompleksnya sistem transportasi di Ankara. Betapa banyak trayek baik bus, angkutan, sampai kereta yang harus didesain. Dan jelas, semua bermuara di Ankara.”

“Itulah mengapa orang-orang sepertiku dibutuhkan.” Ia mulai membanggakan jurusannya, teknik perencanaan wilayah dan kota.

Hmm. Aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Bila Alif mulai bercerita tentang jurusannya, tidak akan ada habisnya. Seperti tugas mahasiswa, tidak ada titik akhirnya. Aku sendiri telah lama bosan dengan ceritanya.

Plot yang terus diulang-ulang, alur yang senantiasa sama, dan tidak ada variasi sedikitpun. Ia selalu mengawali dengan pemimpin dunia yang jago mendesain tata kota. Pernah suatu ketika kami ngobrol di sambungan telepon hingga 5 jam. Untung saat ini sudah ada telepon internet melalui media sosial, aku tidak membayangkan apa jadinya bila menggunakan operator biasa. Pasti sudah habis berjuta-juta hanya untuk mendengarkan ocehannya tentang tata kota.

“Ngomong-ngomong, dari tadi kok enggak ada penumpang yang naik ya?”

Aku memandang laju bus yang mulai meninggalkan hingar-bingar lampu kota. Bus terus menanjak. Pandanganku menyapu koridor bus, hanya tersisa kami. Di tambah petugas tiket yang tertidur.

Lihat selengkapnya