30 menit berlalu. Alif masih mencari cara untuk membobol pagar kedutaan besar Indonesia. Aku sendiri terpaku, mencoba menahan dinginnya malam Ankara. Bila dipikir-pikir aneh juga, orang Indonesia yang mencoba membobol kantor kedutaan besar negara sendiri.
Tapi, percayalah kawan. Akal sehat akan terganggu bila telah bersua dengan angin musim dingin. Tanganku mencoba untuk menggoyang pagar yang dingin. Aku ingin berteriak, semoga ada orang yang terganggu.
Setengah jam kami menunggu. Alif dan aku masih mencari cara, bagaimana caranya kami masuk, apa pun caranya. Kegilaan mulai hadir di pikiranku. Aku berpikir tentang bom molotov untuk meruntuhkan pagar.
Atau sebuah serum yang membuat kami bisa menerobos jendela. Atau mungkin kami bersusah payah menggali lubang, membuat terowongan bawah tanah untuk masuk ke dalam.
Walaupun terkesan sinting, tanganku mulai menggali. Begitulah, manusia bila telah dihantam keputusasaan, kegilaan pun dihadirkan. Berbeda dengan Alif, ia masih duduk termenung. Semoga saja ia berpikir, bukan hanya berdoa. Sempat juga keyakinan akan keberadaan Tuhan luntur gara-gara hawa dingin.
“Ada penjaganya, tapi ia tertidur,” ucap Alif, mencoba mengintip di balik jeruji.
“Sama aja kaya di Indo, mahal-mahal di bayar malah tidur.”
“Kan memang malam hari.” Alif mencoba membela.
Aku tidak memperdulikannya lagi. Mencoba fokus menggali. Tanganku benar-benar menggali tumpukan salju di dekat pintu gerbang. Tidak terbayang lagi rasa sakit menahan dinginnya. Yang ada di kepalaku saat itu, bagaimana bisa memeluk kehangatan di ruangan secepat-cepatnya.
Alif mencoba untuk membangunkan penjaga tersebut. Mencoba berteriak dengan bahasa Turki. Cukup sinting juga kalau dipikir-pikir, mengingat pos penjaganya sekitar 10 meter dari pintu gerbang. Apalagi sesekali angin musim dingin Ankara lewat, dan itu dingin sekali.
Tidak kusangka, 20 menit menggali cukup menghadirkan gundukan salju. Lubang yang kubuat pun tidak terlalu lebar. Cukup untuk menjadi tempat berlindung kucing, tapi tidak cukup untuk manusia.
Hingga ide brilian pun muncul. Aku mencoba memanfaatkan hasil jerih payahku, menggali salju hingga tanganku mati rasa. Kalau kata orang bijak, banyak jalan menuju Roma. Memang mustahil terowongan dapat dibuat dalam semalam, tapi terowongan lainnya hadir untuk dicoba.
Tanganku yang secara fakta sudah mati rasa, mencoba memadatkan salju-salju tersebut hingga berbentuk bola. Aku berharap di dalam hati, agar hipotermia tidak suka dengan orang udik yang bermain salju, agar tidak berkunjung dan mencengkram tubuhku.
“Tang.” Bunyi salju menghantam kaca pos penjaga.
Alif terkaget seketika. Ia mencoba mencari dari mana sumber bola salju tersebut.
“Tang.” Hantaman kedua.
Aku hanya tersenyum bias, ketika tatapan Alif menemukanku tengah melempar bola salju ke arah pos penjaga.
“Ayo bantuin,” teriakku.
Ia pun berjalan gontai ke tempatku. Sepertinya ia tidak akan memarahiku. Etika berkunjung telah menguap di langit Ankara, idealismenya pun turut membeku.
Akhirnya kami memberondong pos penjaga dengan bola-bola salju. Berharap agar penjaga yang tertidur pulas, bangun dan membukakan pintu pagar. Bunyi denting berkali-kali menghantam kaca pos.
Dalam lubuk hati yang paling dalam, aku berharap kaca itu luluh lantah, seperti di film-film. Ternyata keajaiban pun hadir. Bukan kacanya yang pecah, sepertinya amarah penjaganya yang pecah. Akal sehat kami yang telah membeku tidak memperhitungkan tingkat amarah orang Turki.
Kami mendengar teriakan dari dalam pos itu. Ia nampak begitu marah. Pintu pos terbuka, hadirlah pemuda usia 50-an dengan jenggot yang tebal, membawa senjata. Aku mencoba mengucek mata, semoga laras panjang di tangannya hanyalah sebuah ilusi.
Alif mencoba meredam kegaduhan. Ia berbicara dengan bahasa Turki yang fasih, sembari beberapa kali menyebut nama Indonesia dengan frasa Turki. Setelah beberapa kali beradu argumen, dengan menunjukkan beberapa bukti, Alif berhasil meyakinkan penjaga. Bahwa kami adalah orang Indonesia yang terkunci tidak bisa masuk ke kedutaan besar negaranya.