Cerita dari Ankara

Syafi'ul Mubarok
Chapter #8

Mr. Ataturk

Aku tidur sebentar. Badanku hanya menyentuh kasur beberapa menit di basement Kedutaan Besar Republik Indonesia. Hingga suara azan berkumandang di langit Ankara. Frasa azan berkumandang hanyalah karanganku. Faktanya, tidak ada azan yang mampu menembus dinding basement.

Yang ada hanyalah kesunyian. Sunyi yang mencekam. Mataku masih terkejap mencoba terus menatap langit-langit yang begitu dekat. Alif begitu terlelap dengan mimpinya. Sementara aku masih terganggu dengan imajinasi yang cukup mengganggu.

Maklum saja, basement tempat tidur kami benar-benar gudang tempat penyimpanan. Di sudut-sudutnya ada lukisan para penari. Tak jauh dari lukisan tersebut, ada beberapa patung yang berjejer, tumpukan properti kesenian, dan seperangkat gamelan Jawa.

Aku tidak berani memandang lukisan-lukisan itu. Aku menghindari menatap bola mata mereka. Sangat mungkin, mereka melirik ke arahku. Dan itu sangat tidak lucu. Apalagi di tambah gamelan yang berbunyi dengan sendirinya. Pasti akan lebih mencekam.

Ah sialan. Pikiranku semakin liar. Aku berharap waktu subuh segera datang. Diikuti sinar matahari musim dingin pengusir kesunyian. Mataku masih terus mengerjap ke arah plafon. Hingga suara gamelan terdengar.

“Sialaaan,” aku berteriak dalam hati. Badanku mulai terbanjiri keringat dingin.

Pemain gamelan itu pasti sangat mahir. Ketukan yang begitu lembut. Sunyi yang benar-benar mencekam. Mungkin ia sudah berpuluh-puluh tahun di tempat ini, atau arwahnya tengah melakukan perjalanan ke Ankara.

Aku mencoba melirik ke arah gamelan. Tidak ada siapa-siapa. Namun, suara itu masih terus menyusup ke telingaku. Mengetuk-ngetuk ulu hatiku, membawa pesan mencekam. Aku mencoba menarik apa pun untuk menutupi kepalaku, sembari memejamkan mata dengan paksa.

Tanganku menyentuh sebuah kain. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menariknya, menutupi kepalaku. Pelan-pelan aku mencoba membuka mata. Sialan, ternyata yang kuambil adalah sebuah selendang berwarna merah.

Aku menelan ludah. Pikiranku mulai menantang logika. Bagaimana bisa selendang penari yang ada di ujung ruangan tiba-tiba berada di dekatku. Kecuali ada yang membawanya, kecuali ada yang mendekatkannya. Suaraku tercekat.

Bola mataku menangkap siluet yang menari-nari di bawah temaram lampu. Bayangan itu terus menari, diikuti dengan suara gamelan yang lebih keras dari sebelumnya. Keringat dingin semakin banyak membanjiri tubuhku.

Tanganku mencoba meninju Alif yang tengah terlelap. Berharap ia segera bangun dan mengeluarkanku dari kegilaan ini. Percuma, tubuhku terlalu gugup untuk melakukan hal itu.

Selendang penutup kepalaku tiba-tiba ditarik. Benar saja, aku melihat sesosok penari cantik yang menari mengikuti iringan gamelan. Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. Ia kemudian menatapku dengan tatapan yang tajam. Ia menampakkan taringnya.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung berteriak sejadi-jadinya. Tubuhku tiba-tiba bangkit, aku terduduk dalam keadaan pusing. Penari itu telah lenyap bersama suara gamelannya. Kini yang terlihat Pak Erik dan Alif yang nampak bingung. Aku langsung melayangan tonjokan ke Alif tanpa sadar.

“Woi.” Alif berteriak kesakitan.

“Ada penari, Pak,” ucapku singkat.

Wajah Pak Erik berubah pucat.

“Alif, segera bereskan barang-barang, kita pindah ke dapur.”

Aku langsung melangkah meninggalkan ruangan itu dengan setengah sadar. Ternyata di luar matahari telah muncul. Walau sinarnya bersaing sengit dengan gumpalan kapas yang terjun bebas dari langit.

Kami tidak banyak bercerita tentang kejadian itu. Meja makan lebih hening dari sebelumnya, hanya bunyi piring dan garpu yang berisik. Kami kemudian berterima kasih kepada Pak Erik, dan melanjutkan perjalanan.

Suhu udara tidak terlalu dingin, hanya saja lebih kering. Beberapa kali angin musim dingin melintas. Kami pun kompak mempererat tali jaket musim dingin.

Lihat selengkapnya