Anitkabir telah memberikan banyak cerita. Mulai dari kasih masyarakat Turki tak terbalas waktu, hingga kisah heroik Mustafa Kemal Ataturk yang melegenda. Mereka begitu bangga, walau beberapa kelompok muslim menganggapnya penjahat.
Seorang sekuler yang meruntuhkan kekhalifahan di Turki. Menggantinya dengan demokrasi. Apalagi itu adalah tanda keruntuhan imperium Islam di abad modern. Kini muslim masih harus terus berusaha, untuk kembali ke puncak kejayaan.
Aku masih tidak habis pikir. Bagaimana bisa seorang Mustafa terkenang begitu mendalam. Sementara banyaknya bapak bangsa di negeriku hanya sebatas penghias sejarah. Mereka hanya dikenal melalui nama, bukan karya. Menjadi objek pertanyaan ujian, murid-murid harus menghafal. Serendah itu.
Di tengah perjalanan menuju destinasi selanjutnya, aku mengobrol serius dengan Alif.
“Menurutmu, apa yang salah dengan sistem sejarah kita?”
“Jangan bilang kamu sedang mengagumi Anitkabir.”
Aku mengangguk pelan.
“Awalnya aku juga begitu, ketika pertama kali datang kesini.”
“Lantas?”
Alif menarik napas panjang.
“Indonesia tidak kalah keren kok. Cerita negeri kita lebih hebat dari cerita keruntuhan dinasti Umayyah di Turki.”
Aku paham benar tentang hal itu. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang pemberani, bangsa para pejuang. Bahkan Indonesia tidak pernah dijajah, buku-buku sejarah salah menuliskan kejadian penjajahan.
Nusantara yang dijajah. Aku pun melakukan pembelaan, bahwa 350 tahun bangsa kita berjuang melawan penjajahan. Berbeda dengan bangsa sebelah yang diberi. Bangsa Indonesia adalah bangsa para pejuang, titik.
“Lantas mengapa kecintaan kita kepada para pendiri negara, tidak sedalam rakyat Turki terhadap Ataturk?”
Tiba-tiba tiga orang perempuan Turki menatapku sinis dan tajam. Aku menatapnya balik, sembari menunggu Ankaray. Sepertinya mereka mendengar aku menyebut nama Ataturk dengan terang-terangan, tanpa penghormatan.
“Mungkin karena saking banyaknya nama pahlawan kita.” Alif nyengir.