“Apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku penasaran.
Alif tidak menjawab. Hanya desiran angin malam Ankara yang semakin menusuk tulang. Bahkan aku bisa mendengar napasnya yang memburu. Ia sedang tidak baik-baik saja.
Kami pun berdiri cukup lama, di balik tembok. Sesekali mata tajam Alif memicingkan ke arah rumah. Ia nampak gusar. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu.
Petugas semakin banyak berdatangan. Seragam hitam mereka, lengkap dengan senapan laras panjang, nampak menyatu dengan malam. Derap langkah mereka serupa tentara. Atau mungkin mereka adalah tentara Turki. Mereka kemudian membuat tembok manusia di depan rumah tersebut.
Bila di Indonesia, hanya ada dua alasan mengapa tentara berdatangan. Pertama, karena terjadinya bencana alam. Para tentara menjelma serupa pahlawan masyarakat, mereka dengan kompak membantu evakuasi bahkan menolong korban yang berjatuhan.
Alasan kedua membuatku agak khawatir. Tentara akan datang dan turun ke jalan, ketika stabilitas keamanan nasional tidak aman. Apakah di Turki menerapkan budaya yang serupa? Aku masih mencari tahu.
Aku memandang Alif, tidak ada perubahan. Wajah gusar dengan mata memicing, mencari sebuah solusi. Kami pun tersentak ketika mulai ada keributan di rumah tersebut. Beberapa kali tembakan terdengar. Darahku seketika mendesir.
Alif mulai panik. Aku bisa melihat peluh mulai membanjiri keningnya. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Di tangannya, sebuah senjata api laras pendek. Ukurannya kecil namun sangat mematikan, apalagi untuk duel radius 500 meter. Diameter peluru 3 milimeter, cukup untuk melubangi badan.
Aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat. “Sejak kapan warga sipil bisa memiliki senjata api? Dan sejak kapan kamu bisa menembak?” Aku mulai memberondongnya dengan pertanyaan.
“Sudah jangan banyak bicara!” Sentaknya.
Aku semakin heran dengan tingkah lakunya. Ini bukanlah Alif yang kukenal.
Tembakan demi tembakan kembali terdengar dari rumah tersebut. Nampaknya terjadi baku tembak seru antara petugas dan beberapa orang di dalam. Mereka nampak memberikan perlawanan yang sengit.
Tanpa berbicara, ia langsung bergegas meninggalkanku. Aku pun reflek mencegahnya.
“Kemana? Jangan gila!” Aku hanya bisa melihat sorot matanya yang buas. Sisa wajahnya ia tutup dengan syal musim dingin.
“Lebih baik membusuk menjadi tawanan, dari pada harus menerima kedzaliman.” Ia membentakku.
Sedetik kemudian, giliran tangannya yang mencengkram pundakku. Alif membawaku keluar dari tembok secara paksa. Ia kemudian bersiul untuk memancing perhatian. Benar saja, beberapa petugas bergerak dari pagar yang mereka buat. Beberapa lampu sorot mengarah ke tempatku, di ujung jalan.
Sialnya, Alif telah menyelinap, masuk ke kegelapan. Beberapa petugas mulai mendekatiku sembari mengarahkan senapan ke tubuhku. Mereka berteriak ke arahku. Namun aku tidak paham apa yang mereka katakan. Perpaduan aksen kental bahasa Turki di tambah malam yang dingin, membuatku susah untuk konsentrasi. Apalagi moncong senjata mereka mengarah ke satu titik yang sama. Aku.
Nyawaku dipertaruhkan di sini. Aku memilih untuk mengangkat kedua tanganku ke udara. Pertanda menyerah, padahal aku tidak melakukan apa pun. Dua orang mendekatiku, memukul pundakku hingga pingsan. Terakhir yang kulihat, bayangan Alif melintas di atas pagar dan menyelinap masuk ke rumah.
“Dasar bedebah!” teriakku.
***
Aku akhirnya tersadar. Mataku begitu berat, mungkin terlalu lama mengatup. Mencoba melihat kondisi sekitar, sembari merasakan badan yang begitu sakit. Penglihatanku mulai berangsur-angsur normal, ketika aku merasakan tanganku terkekang.