Keesokan harinya. Sasa bangun pagi-pagi sekali, ia lalu bersiap berangkat menuju rumah. Dia tidak memperdulikan rasa sakit yang ada diperutnya itu. Ia segera bergegas takut tertinggal bus. Dan malas harus berjumpa dengan Rangga maupun mantan istrinya atau masih jadi istrinya.
Dia hanya mengirim pesan singkat kepada pak Yanto untuk tidak masuk kerja lagi dan akan pulang ke rumahnya. Pak Yanto hanya bilang jika itu menjadi pilihan kamu silahkan. Semoga cepat sembuh ya.
Ibu kosan yang melihat Sasa pagi hari sambil membawa ransel berkata “Mau kemana neng pulang? Kan masih sakit?”
“Ia bu, biar ada yang nemenin kalau diem dirumah” Sasa berkata sambil tersenyum pada ibu kosannya itu. Saat ia akan naik bus, ia melihat Rangga dari kejauhan ia langsung memberhentikan elf yang lewat didepannya. Berharap Rangga tidak melihatnya, Sasa yakin Rangga tidak melihatnya karena Rangga langsung berbelok menuju jalan ke arah kosannya.
Elf pun melaju dengan kencang, Sasa pada awalnya akan naik bus seperti kemarin. Namun kali ini ia berbelok kearah berlawanan. Jalurnya cukup jauh dengan yang kemarin tapi mungkin bisa lebih cepat dibandingkan melewati jalur yang kemarin.
Setelah sampai di jalan besar Sasa berhenti dan menunggu bus yang lewat. Kalau melewati jalur ini ia harus naik bus sebanyak 2 kali tapi memang harganya lebih murah. Dari segi keamanan sebetulnya lebih aman lewat jalur yang kemarin kalau jalur ini suasananya berbeda, lebih menyeramkan. Dulu pernah dia lewat jalur ini dengan Antoni, dia yang memperkenalkan Sasa dengan kehidupan malam disini. Kalau malam hari nampak biasa tidak ada aktifitas yang negatif di daerah yang pernah Antoni tunjukan padanya.
Di bus ada bapak-bapak yang duduk bersama dengannya, ia sepertinya ingin mengobrol dengan Sasa. Karena Sasa sedang sakit dan dia malas untuk bercakap-cakap dia langsung mengeluarkan earphone nya walaupun tidak ada suara yang terdengar dan Sasa langsung melihat keluar jendela. Seketika itu bapak yang duduk disamping langsung berkata “Sombong banget” Dia langsung pindah duduk ke tempat duduk di samping. Sasa tak memperdulikannya, toh ia tak kenal dengan bapak-bapak tersebut.
Sasa kemudian turun di depan pom bensin untuk naik bus selanjutnya. Bapak-bapak yang tadi melihat Sasa dengan sinisnya namun Sasa membalasnya dengan senyuman hangat. Sasa lalu turun dan naik bus selanjutnya. Di bus ini suasana berbeda dengan yang sebelumnya. Kalau di bus yang pertama suasananya terasa panas dan selalu ingin marah-marah dan banyak orang jahat yang memperhatikannya terus dari awal ia naik hingga ia turun. Di bus yang ini ia merasakan ketentraman, hingga saat memasuki perbatasan kotanya rasa sakit itu sudah hilang. Sebetulnya saat dia keluar dari kota tempat ia merantau rasa sakit itu perlahan sudah hilang. Ia pun aneh dengan rasa sakit yang dideritanya itu. Jika melalui jalur yang ini Sasa harus melewati 3 kota tapi waktu tempuh lebih cepat karena cara supir-supir disini mengendarai bus sangat lah cepat.
Saat sampai rumah pasti mamah dan papah nya aneh dan menganggap kalau Sasa sengaja bolos karena ingin pulang ke rumahnya.
Sasa sudah sampai di terminal kota Bandung. Sasa menjadi segar kembali, walaupun asap bus yang ia tumpangi menghantam rambutnya yang ikat. Ia langsung naik angkutan umum untuk sampai di rumahnya.
Dan benar saja saat sampai di rumahnya mamah dan papah menganggap kalau Sasa bolos, bukan sakit. “Masa ia yang katanya sakit parah bisa langsung sehat seperti ini. Ini sih kamunya aja yang kangen sama rumah” Ucap Ester sambil memeluk Sasa erat-erat.
“Enggak mah beda banget, apa mungkin cerita yang dulu pernah nenek sampaikan itu benar bahwa di desa itu masih ada yang pake magic?” Tanya Sasa sambil duduk diruang tengah.