Pati, Maret 2011
Angin berhembus, menyibakkan kerudung dua anak kecil (betewe yang satu uda beranjak remaja) yang duduk sambil bercanda di atas motor yang dikendarai ayahnya. Posisi yang paling belakang adalah sang kakak, dan yang ada di tengah adalah adiknya, Aisyah (aku:"). Tujuan kami saat itu adalah ingin survei di calon pondoknya kakakku yang ketiga, Fatimah. Sekedar informasi ya sob, anak kandung ayah dan ibuku ada 5, dan aku adalah anak keempat dari lima bersaudara. Kakak pertamaku perempuan, namanya Naila. Sekarang dia masih mondok di daerah kajen yang tahun pertamanya mondok harus mengulang dua tahun untuk diniyah. Kalau kakak keduaku namanya Mufty. Dia adalah satu - satunya anak laki laki di antara kami. Sedangkan yang ketiga adalah kak Fatimah, yang sekarang sedang berada di belakangku, dan sedang menertawai poniku yang keluar semua. Sebentar lagi dia akan lulus dari Sekolah Dasar yang ada di desa kami. Rencananya, ayah akan menyekolahkan kakakku di pondok pesantren yang berada di Guyangan - Trangkil - Pati, yang tidak akan pernah kusangka akan menjadi tempat penuh kenangan yang pernah aku miliki. Dan aku punya satu adik perempuan, dulunya waktu di USG, adikku diperkirakan berjenis kelamin laki laki, eh tapi malah pas hari H nya yang keluar malah perempuan. Kalau adikku jadi laki laki, namanya Fauzan. Tapi karena keluarnya perempuan, maka jadilah ia bernama Fadhila. Aku dan adikku terpaut 5 tahun. Jadi, kalau sekarang aku kelas tiga SD, berarti adikku waktu itu umur berapa ya?Gatau ah, males ngitung. Hitung sendiri ya sob!
Eh, kok malah ngelantur sampai situ sih? Lanjut ke dua bocah tadi yaa..
Ngeng...ngeng...ngeng...citttt
Yah...akhirnya sampai juga kita di sana. Tapi, semenit kemudian...
"Ayo, masuk!" ajak ayah
"Ayo, kak! Masuk yuk!" kataku bersemangat sambil melepas pengait sepatu.
Tapi kakakku hanya diam di tempat dan menatap ke arah lain untuk kemudian berlari menuju area halaman madrasah. Ayahku yang melihat itu pun memberi isyarat kepadaku untuk segera menyusul ayah ke ruang pendaftaran. Kemudian aku berlari menyusul kakakku. Dia duduk di salah satu balkon kelas, matanya merah, bararti dia menangis, tebakku.
"Kenapa kak ima menangis?" Tanyaku.
"......" dia masih diam untuk kemudian berkata sambil terisak. "Aku tidak mau mondok!"
"Kenapa?"